Mubadalah.id – Rasulullah diutus Allah Swt. tak lain untuk menyempurnakan akhlak (li utammima makarimal akhlak). Bersamaan, agama mulia yang Rasulullah bawa (Islam) menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam juga perlahan menghapus pelbagai penindasan dan ketidakadilan, khususnya terhadap perempuan.
Kondisi pra-Islam, kaum Quraisy menanggung aib manakala kedapati memiliki anak perempuan. Bayi suci itu mesti rela terbunuh hanya karena peradaban tak bermoral. Dalam pada itu, Islam datang bagai rahmat memuliakannya.
Islam datang menempatkan derajat perempuan sebagai makhluk setara dengan lelaki. Mereka adalah hamba Allah Swt. hanya iman dan takwa yang membedakan derajat keduanya. Walau demikian, diskursus ketidaksetaraan masih terjadi. Baik lingkup domestik hingga universal seperti di bidang ekonomi, kebudayaan, sosial, politik, dsb.
Perempuan kerap tertempatkan pada posisi inferior (terkuasai) sementara lelaki di posisi superior (penguasa). Padahal, keduanya sama-sama memiliki hak setara sebagai pelaku, pengambil, dan pelaksana sebuah keputusan. Hal itu berkaitan dalam bidang politik, misalnya, tak heran jika sekian produk hukum masih memuat pelbagai bias gender hingga ketidakadilan.
Pertumbuhan Angka
Undang-undang, peraturan daerah, dan produk hukum lain acap kali memukul rata dalam kontekstualitas penerapannya. Ini terlihat—dan memang pantas—sebab penyusun dan perancangnya termayoritasi laki-laki, bahkan (mungkin) hampir sepenuhnya.
Oleh karena singgungan tadi, kita terbawa pada helatan pemilu serentak April 2024 silam. Pada sektor strategis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, KPU telah menetapkan 580 anggota terpilih periode 2024-2029. Dari jumlah total itu, caleg perempuan terpilih hanya mentok 21,9 persen; atau sekitar 127 orang dari 580.
Tiga dari 127 perempuan berhasil lolos parlemen menggoreskan capaian sepuluh besar suara terbanyak. Mereka berurutan menempati posisi 4, 5, dan 6. Mereka adalah Hillary Brigitta Lasut (Partai Demokrat), Airin Rachmy Diani (Partai Golkar), dan Puan Maharani (PDI Perjuangan).
Capaian itu, secara normatif, sebetulnya belum sesuai dengan peningkatan partisipasi perempuan yang ada. Diatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Aturan tertaung di Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Terafirmasi di pasal sebelumnya, Pasal 173 Ayat (2) huruf e, syarat partai politik untuk mengikuti pemilu harus menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) juga keterwakilan perempuan. Keterangan memuat keberpihakan terhadap perempuan agar ketersediaan kursi parlemen tak sepenuhnya terkuasai lelaki semata.
Wujud Ikhtiar
Capaian 21,9 persen mesti mendapatan sambutan dan rasa syukur. Untuk mewujudkan cita-cita memang tak bisa instan. Butuh proses matang nan cukup Panjang. Demikian terbukti sejak pemilu pertama pada 1999 hingga pemilu keenam pada 2024 keterwakilan perempuan di DPR RI selalu meningkat, walau tak signifikan. Setidaknya kenaikan nol koma sekian persen itu bagian dari perjuangan dan kerja-kerja perempuan menghadapi hajatan demokrasi lima tahunan ini.
Gampangnya, agar perubahan itu teras kita bisa melihat perbandingan dengan pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI di angka 20,5 persen atau sekitar 120 orang. Sedang pada periode 2024-2029, bertambah menjadi sekitar 127 perempuan bakal mengisi pergolakan gagasan di Gedung Senayan.
Peningkatan presentasi ini menjadi bukti dan modal menyambut pertarungan di pemilu berikutnya. Jumlah 30 persen itu minimal, tapi setidaknya itu yang terjadikan sebagai patokan. Manakala telah tercapai, upaya masif dan progresif mesti ditingkatkan. Tak lain demi mewujud keseimbangan jumlah kursi di parlemen antara perempuan dan lelaki.
Andai angan-angan ini terwujud, kita tak lagi gusar menyaksikan sikap superior dan inferior bersitegang. Keduanya sama-sama lenyap. Tak ada lagi pihak penguasa dan terkuasai. Keduanya berperan, bekerja sama, dan berbagi gagasan menghasil produk hukum yang adil dan bermuatan kesetaraan.
Dalam pada itu, paling tidak perempuan terlibat manakala legislator tengah menggarap peraturan berhubungan dengannya, dengan kaumnya. Ide dan konsep perempuan benar-benar konkret tersemat dalam rancangan itu. Bahkan barangkali sempat bertarung melawan konsep pikiran laki-laki menyoal sebuah falsafah sebelum kemudian tertuliskan menjadi draft.
Setara Semartabat
Kita berhak ingat ungkapan KH. Husein Muhammad dalam buku Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan (2014) bahwa perempuan pun memiliki keterlibatan yang sama dalam politik, halnya laki-laki. Buya Husein, sapaan akrabnya, berangkat lewat gagasan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Bahwa semua orang yang berada di ruang publik politik berhak ikut-serta berpartisipasi. Artinya berhak memilih untuk menjadi penampil atau penonton.
Oleh karenanya, lanjut Buya Husein, karena memiliki pikiran, kecerdasan, dsb, perempuan, halnya laki-laki. Ia memiliki potensi yang sama dalam memangku amanat Tuhan yakni menyejahterakan bumi, manusia, dan alam. Sehingga berhak untuk dipilih-memilih, dipimpin-mempimpin, membuat-menjalankan keputusan, dan sebagainya.
Artinya, dalam konteks ini, kepemimpinan politik, pemegang kuasa, dan pembuat aturan itu bisa terjamah oleh perempuan. Karena kualifikasi untuk mengisinya berdasar kualitas, kecapakan, dan integritas. Bukan berdasar stereotipe, konstruksi gender, apalagi jenis kelamin. Demokrasi ketinggalan zaman itu. []