#MudaMarginal: Malam Minggunya Para Buruh, Minum Kopi Starling dan Duduk di Alun-alun

#mudamarginal:-malam-minggunya-para-buruh,-minum-kopi-starling-dan-duduk-di-alun-alun

Selepas berjualan nasi bungkus di depan pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara, Tien Kusna segera mengemasi dagangannya. 

Sabtu sore itu sudah waktunya untuk malam minggu, di awal September 2024, ia bergegas pergi, mau malam mingguan bersama para buruh perempuan teman-temannya.

Setelah mengemasi dagangan dan membawanya pulang, Tien Kusna langsung terima WhatsApp dari teman-temannya buruh di KBN Cakung, mereka mengajak Tien untuk malam mingguan. 

Malam minggu yang mereka maksud adalah duduk-duduk di pinggiran jalan di samping kopi starling atau penjual kopi keliling yang biasa mangkal di Cakung, tak jauh dari tempat mereka tinggal. Tien Kusna lalu pesan kopi segelas, diikuti oleh teman-temannya yang lain.

Jika Tien Kusna bawa pisang goreng sebagai camilan, para buruh lain ada yang bawa tahu atau tempe goreng, ada yang bawa kerupuk, semua digoreng sendiri dari rumah masing-masing. Camilan ini sebagai teman minum kopi starling. Uang yang cuma sedikit, membuat para buruh tak bisa malam mingguan ke mall, nonton film atau minum kopi di kafe. Mereka bisanya duduk di pangkalan kopi starling tiap malam minggu. 

Walau letaknya di pinggir jalan, tapi aman. Tempat ini dekat dengan sungai kecil. Mereka bisa duduk di tikar plastik yang disediakan penjual kopi starling.

“Karena duit terbatas, tiap malam minggu ya begini mba, minum kopi starling sambil bawa gorengan dari rumah masing-masing,” kata Tien Kusna pada Konde.co.

Baca Juga: Sugar Generation, Upah Kecil Bikin Buruh Perempuan Sulit Akses Makanan Sehat

Sedangkan beberapa buruh perempuan lain yang punya anak, tak bisa malam mingguan dengan mereka. Yang punya anak akan pulang kampung, dan Minggu malam balik lagi ke Jakarta karena Senin harus kerja.

Tien Kusna adalah mantan buruh pabrik garmen di KBN Cakung, namun karena perusahaan tempat kerjanya bangkrut, lalu ia banting setir jualan nasi bungkus. Konsumennya teman-temannya sendiri. Tiap pagi ia masak nasi, ayam suwir dan sayur untuk dijual. Perbungkusnya dijual Rp. 15 ribu. Dengan uang pendapatan ini, kini ia hidup.

“Kalau malam minggu begini, kami biasa ngobrol soal pekerjaan, pertemanan, pokoknya ngobrol sehari-hari saja, ini bisa kami ceritakan di malam minggu, karena hari-hari biasa, kerja di pabrik sampai sore atau malam.”

Rutinitas ini biasa dikerjakan para buruh perempuan di Sabtu malam atau malam minggu, karena jika di Hari Minggu, biasanya mereka akan mencuci, setrika dan beberes rumah.

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) di Jakarta, Jumisih mengatakan bahwa kopi starling itu seperti kafenya para buruh karena murah meriah, dan buruh juga bisa menikmati kopi yang tak jauh beda yang bisa dinikmati anak-anak muda lainnya di kafe-kafe mahal. 

“Jadi ini seperti membayangkan hidup kayak anak muda lainnya yang bisa mengakses kopi mahal,” kata Jumisih.

Baca Juga: Hari Buruh: Jika Daycare Jumlahnya Minim, di Mana Buruh Bisa Titipkan Anaknya Ketika Kerja?

Di Jakarta Utara dimana para buruh tinggal yang merupakan daerah industri atau kawasan pabrik, ada 4 daerah kopi starling yang menjadi langganan para buruh. Seperti di daerah Arteri dekat Kelapa Gading, di taman di dekat alun-alun, dekat Orchard dan dekat Pasar Plumpang, tak jauh dari danau Rawa Badak.

Daerah disini, terutama di dekat Pasar Plumpang, kalau malam minggu selalu ramai karena dipenuhi parkir motor para buruh. Mereka memarkir motor, lalu minum kopi dan makan gorengan. 

Di Arteri, Jakarta Utara misalnya, salah satu penjual kopi starling adalah Ari Widiastari, mantan buruh pabrik peniti di KBN Cakung. Karena pabriknya tutup saat pandemi, maka Ari kemudian jualan kopi starling dengan motornya. Jadi malam minggu disini tidak hanya minum kopi, tapi beberapa buruh perempuan FSBPI juga bisa bertemu Ari.

“Ini juga membantu menambah penghasilan mereka, para buruh yang sudah dipecat atau pabriknya mati, mereka hanya bisa mendapatkan pendapatan berlebih kalau malam minggu seperti ini,” kata Jumisih pada Konde.co

Pertemuan seperti ini juga sering jadi lahan pengorganisiran para buruh. Pertama kenal di tongkrongan starling, lalu ngobrol soal pribadi seperti mereka biasa membuka obrolan dengan bertanya: rumahnya dimana, asal dari mana, lalu cerita tentang persoalan yang mereka alami di pabrik. 

“Ini bisa jadi tempat pengorganisiran buruh, kami ketemu banyak buruh muda, trus membantu advokasi mereka atau sekedar memberikan saran ketika mereka punya persoalan perburuhan. Juga bisa jadi ajang kenalan-kenalan, kadang kalau mereka ada yang menikah, kami diundang. Tapi bisa juga jadi rapat senyap organisasi, kadang-kadang bosan rapat di sekretariat, lalu kami rapat disini,” kata Jumisih.

Ramainya kondisi di sana karena di pinggir jalan yang lalu lintasnya banyak kemacetan dan banyaknya yang nongkrong, tak menghalangi para buruh untuk menikmati malam minggu dengan kondisi ramai. 

Baca Juga: Bukan Adu Gengsi, Ini Cerita Bukber Yang Jadi Ruang Perjuangan Buruh Pabrik

Malam minggu, juga merupakan hari yang paling ditunggu oleh Sisilia Risa Pahlevi (25). Biasanya setiap dua pekan atau sebulan sekali, Risa bersama keempat teman pabriknya yang berada di Jakarta Utara, janjian buat nongkrong di kafe sekitaran rumah. Ini kafe kecil-kecilan, bukan kafe besar yang makanan dan minumannya mahal harganya.

Habis mandi, Risa, nama panggilannya akan bersiap-siap pakai outfit yang dibelinya di marketplace. Bukan yang bermerek mentereng, tapi cukup kekinian seharga puluhan ribu rupiah. 

Sambil menunggu teman-temannya datang, Risa biasanya memesan kopi hazelnut dan roti bakar kesukaannya. Risa begitu menikmati suasana malam minggu seperti ini. Disana bersama para buruh perempuan lainnya, mereka bisa mengayunkan badannya mengikuti alunan musik koplo yang dimainkan di live music kafe.

“Aku suka kafe yang ada live music-nya, hiburan anak muda. Genre-nya biasanya lagu Jawa sama koplo,” ujar Risa yang orang tuanya berasal dari Boyolali itu kepada Konde.co, Senin (16/9).

Tak cuma melepas penat, momen berkumpul bareng sesama buruh perempuan pabrik ini, juga jadi sarana bertukar pikiran. Mereka saling bercerita tentang kondisi kerja, hak buruh perempuan sampai kritik atas kebijakan diskriminatif yang ada di pabrik. Momen ini mereka namakan momen sambat atau momen berkeluh kesah dengan teman.

Momen sambat ini, biasanya berlangsung berjam-jam. Dari sore sampai pukul 8 atau 9 malam. Hingga akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.

Baca Juga: Gaji Pekerja Freelance Dipotong 3 Persen, Tapera Bikin Sengsara 

Selain pergi nongkrong ke kafe, Risa bersama sahabatnya itu, sesama buruh perempuan pabrik, juga biasanya jalan-jalan bareng di malam minggu. Mereka biasanya mengunjungi museum di Sarinah yang biasanya ada pameran gratis. Juga ke Kota Tua sesekali untuk menikmati live music jalanan gratisan sebagai penghibur diri. 

Sebagai warga Jakarta Utara, mereka biasa menggunakan transportasi umum mengunjungi tempat-tempat itu. Mulai dari Kereta Rel Listrik (KRL), Transjakarta, dan sesekali MRT (Mass Rapid Transit).  

Bagi Risa dan teman-temannya, itu transportasi murah meriah yang bisa dijangkau. Meskipun, transportasi dan ruang publik yang biasa mereka akses itu juga masih belum sepenuhnya aman. Salah satunya, ancaman pelecehan seksual berupa catcalling yang seringkali Risa terima saat berjalan lewat trotoar. 

Sejumlah buruh perempuan lainnya memilih alun-alun atau mencari pasar kaget sebagai tempat untuk mereka bermalam minggu, karena di alun-alun dan pasar kaget, mereka jadi leluasa untuk ngobrol dan bisa dapat tempat khusus yang ramai. Yang penting beda dengan suasana sehari-hari. Mereka biasanya akan ngobrol sampai malam. Di alun-alun dan pasar kaget ini makanannya juga murah-murah, sesuai dengan kantong mereka.

Disya Halid, aktivis Perempuan Mahardhika yang biasa mendampingi para buruh di Samarinda, Kalimantan bercerita, jika di kotanya ini,  para buruh perempuan senang duduk-duduk menghabiskan waktu malam minggu di teras Samarinda, ini semacam alun-alun atau lebih tepatnya ruang terbuka hijau yang lokasinya di Sungai Mahakam, Samarinda.

Di ruang terbuka hijau, para buruh perempuan biasanya minum kopi sachetan, seharga Rp. 5 ribu sampai Rp.10 ribuan, lalu makan tahu tek-tek, nasi goreng, atau yang agak mahal soto daging. 

“Ini mereka duduk duduk aja sambil makan minum murah meriah gitu.”

Baca Juga: ‘Aku Bunuh Kamu, Aku Gantung Lehermu’ Kesaksian Buruh Perempuan di Balik Tembok Pabrik

Mereka adalah para buruh perempuan yang sehari-hari kerja di perusahaan kayu,  pengolahan garam, dan kebanyakan di pabrik pembuatan tahu. Hidup mereka sangat sederhana, jauh dari orang lain yang kelas menengah atas yang suka ke mall atau kafe-kafe mahal disana, Disya menambahkan ceritanya.

Berdasarkan riset yang dilakukan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane/ LIPS tahun 2023, pendapatan buruh selama ini memang selalu cekak atau minus, maka pergi nonton ke bioskop nonton film-film baru atau makan di mall merupakan kemewahan bagi para buruh. 

Selama ini gaji mereka dalam sebulan sebenarnya hanya cukup untuk bertahan hidup 2-3 minggu saja, karena digunakan untuk menghidupi keluarga di kampung, membiayai anak sekolah atau mengirim ke orangtua atau membantu saudara. Maka karena tak cukup, pengeluaran malam minggu walau menjadi kebutuhan sosial untuk bertemu teman, mereka memilih untuk ngirit. Paling semalam hanya habis Rp. 20 ribu untuk beli nasi kucing, gorengan dan kopi starling.

Selain minum kopi starling, mereka juga makan kerupuk, usus, gorengan. 

Selain di kopi starling, di Cikarang, Jawa Barat misalnya, para buruh selalu memadati lapangan atau pinggir jalan yang banyak berjualan nasi kucing dan es teh manis yang bisa dijangkau harganya.

Baca Juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Busana Muslim

Direktur LIPS, Syarif Arifin yang dihubungi Konde.co menyatakan, ada 7 tipe kegiatan yang dilakukan para buruh di malam minggu, yaitu main di kos-kosan- ini umumnya dilakukan para buruh ketika mereka sama sekali tidak punya uang, jadi mereka memutuskan di kos-kosan dan tidur di kos saja. Ada pula yang main ke rumah teman dan main gitar, ada yang nongkrong di angkringan atau starling, ada yang motor-motoran. Ada juga yang ketemu keluarga, pacar atau saudara, ada pula yang ikut pengajian trus mereka dikasih wejangan agar mensyukuri hidup. Trus ada juga yang aktif di serikat pekerja yang di hari Sabtu, karena selalu ada pendidikan pengetahuan di serikat pekerja di hari libur.

“Jadi mereka gak mungkin libur ke Singapura atau nonton film baru di mall. Yang ikut pengajian ini seperti mendapat siraman rohani agar mensyukuri hidup,” kata Syarif Arifin tertawa kecil.

Syarif Arifin melihat, bahwa ngopi, minum gorengan ini sebenarnya merupakan kondisi tak sehat untuk tubuh para buruh, tapi apa mau dikata, karena uang yang cekak tak bisa beli makanan mahal yang sehat bergizi tinggi. 

“Jadi sebenarnya kopi starling itu adalah cafenya para buruh, mereka makan usus, gorengan. Nah, jika dilihat dari aspek kesehatan, itu tidak sehat, karena ini mengandung glukosa dan lemak jenuh dan porsi gizi yang tidak memadai, tapi apa daya karena itu satu-satunya hiburan. Memulihkan tenaga dengan berpacaran, bertemu pasangan dan keluarga dan saudara juga dilakukan. Ada yang kumpul dengan satu kampung yang sama, ada yang menghadiri pengajian, memulihkan tenaga dan disuruh harus bersyukur.”

Baca Juga: Buruh Perempuan Dipaksa ‘Staycation’: Kontrak Kerja Jadi Celah Eksploitasi

Minimnya gaji yang harus dikirim ke keluarganya dan untuk kontrak rumah ini membuat mereka hanya bisa mimpi jika ingin menabung. Jangankan menabung, yang ada malah mereka berhutang. 

“Mereka berhutang ini bukan untuk memenuhi kebutuhan tersier, hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi yang bisa dilakukan hanya duduk di alun-alun ditemani nyamuk untuk menyembuhkan reproduksi sosialnya untuk kondisi kesehatan mentalnya yang lebih baik ketika mereka kerja lagi di hari Senin,” kata Syarif Arifin pada Konde.co, 25 September 2024

Temuan survei LIPS di tahun 2023 menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga buruh untuk jenis pengeluaran konsumsi makanan dan nonmakanan sebesar Rp9.299.666,65 per bulan. Pengeluaran untuk jenis makanan sebesar Rp 2.332.641,44 atau 25,08 persen. Sedangkan, sebesar Rp 6.967.025,21 atau 74,92 persen  merupakan pengeluaran jenis nonmakanan, ini seringnya untuk uang sewa rumah, dikirim ke kampung, untuk pendidikan anak, dll. Akibatnya karena gaji tak memadai ini membuat para buruh harus ikut judi online atau hutang dan harus dikejar-kejar retainer atau debt collector.

Hutang adalah jeratan baru yang terjadi pada buruh perempuan. Rata-rata yang terkena jerat hutang adalah buruh perempuan yang menjadi single parent, yang sedang hamil dan akan melahirkan, yang suaminya tak bekerja dan yang tiba-tiba di PHK. Upah yang tak cukup menjadikan mereka berhutang. Riset yang dilakukan Marsinah FM dan Kelompok Belajar Perburuhan (Kobar) yang dipublikasikan 7 Desember 2020 menemukan fakta bahwa buruh ibu pencari nafkah utama ini dipaksa mengikatkan dirinya pada hutang karena persoalan ekonomi yang menjerat mereka, gaji kecil dan tak cukup untuk menghidupi.

Baca Juga: Catatan Hitam Buruh Perempuan: Refleksi Jelang May Day

Selain hutang, ada juga persoalan ekonomi lainnya yang menimpa buruh perempuan. Risa misalnya, sejak lulus SMK pada tahun 2017, Risa sudah mulai bekerja di pabrik KBN Cakung. Usianya kala itu sekitar 18 tahun, saat pertama dia bekerja di pabrik garmen. Namun tak sampai bertahan lama (hanya 3 bulan) karena gajinya yang di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Pun ketika lembur, dia tidak dapat uang tambahan. 

Sistem kerja yang eksploitatif itu, membuat Risa pindah ke perusahaan lain. Hingga, akhirnya dia diterima di pabrik kosmetik dengan kontrak per enam bulan. Di tempat ini lah, Risa bertahan sekitar 3 tahunan.

Dia lantas menceritakan situasinya bekerja di pabrik saat umurnya 21 tahun itu. Statusnya yang masih kontrak, seringkali ‘dibedakan’ dengan para buruh yang sudah berstatus tetap. 

Di era Cipta Kerja ini, Risa begitu merasakan dampaknya sebagai buruh perempuan di pabrik. Utamanya soal minimal bekerja kontrak yang harus 5 tahun untuk bisa diangkat jadi kartap. Meskipun pada realitanya juga, dia banyak melihat teman-temannya di pabrik yang tak juga diangkat kartap meskipun sudah lebih dari 5 tahun kerja. 

Perusahaan biasanya tidak mau rugi. Mereka mengotak-atik biar membayar buruh sekecil-kecilnya. Makanya, sekarang ada pemagangan dulu sebelum diterima sebagai buruh (kontrak).

“Buruh kontrak harus magang setahun,” imbuhnya. 

Baca Juga: Lahannya Diambil Alih, Kondisi Kerja Buruh Perempuan Buruk dan Tanpa Perlindungan

Hingga akhirnya, pada September tahun 2023, Risa harus mengalami hal pahit karena dipecat dari pekerjaannya. Risa yang saat itu sedang sakit dan diopname, sering izin untuk tidak masuk kerja. Dia saat itu, sudah menyertakan surat izin sakit. Tapi, perusahaan tak mau tau. Saat kontraknya habis, Risa tidak diperpanjang kontraknya. 

“Karena kebanyakan izin katanya, kan padahal sakit. Tetap gak bisa meskipun ada surat. Gak mau tau mereka, yaudah habis ya habis,” kata Risa menirukan perkataan manajemen pabrik kala itu. 

Sudah setahun ini, Risa menganggur. Dia bukannya diam dan tak mencoba cari kerja ke sana-ke mari. Sampai sekarang pun, dia masih berkeliling walk interview ke pabrik-pabrik di Cakung. Namun, panggilan kerja pun belum juga diterima.

Batas usia yang ditetapkan pabrik jadi salah satu kendala yang paling Risa rasakan. Meskipun tak semua tertulis di atas kertas, tapi biasanya pabrik mencari pekerja yang usianya di bawah 24 tahun. 

“Padahal umur segini, masih bisa produktif. Diskriminasi umur ini memang menyulitkan cari kerja. Umur 23 aja itu kadang susah juga. Carinya sudah keliling ke pabrik-pabrik di Cakung,” kata Risa yang tahun ini berusia 25 tahun.

Di satu sisi ada batas usia, tapi sisi lainnya pabrik juga seringkali mengharuskan adanya pengalaman kerja. Ini biasanya harus sesuai dengan bidangnya. Misalnya, pabrik garmen menuntut buruhnya juga berpengalaman bekerja di garmen. 

“Kalau biasanya menjahit, kan kita kalau gak ada pengalaman ya gak diterima,” imbuhnya. 

Baca Juga: Dari Mulut Ibu, Saya Jadi Tahu Pedihnya Kehidupan Buruh Pabrik

Selain harus berhadapan dengan diskriminasi batas usia, pengalaman kerja yang linier, kendala lainnya yang dialami Risa adalah sempitnya lapangan kerja dibandingkan pelamar yang ada. “Pelamarnya banyak banget, lulusan (SMA/SMK) tahun 2024, juga udah pada berjuang mencari pekerjaan,” ucapnya. 

Tak hanya melamar pekerjaan di pabrik, Risa sebetulnya juga melamar ke beberapa tempat lain. Risa pernah bekerja di F&B (food and beverage) yang menjaga stand makanan di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

Bukannya lebih baik, pekerjaannya di kitchen (bagian masak) saat itu justru lebih eksploitatif. Dia harus masuk kerja 6 hari per minggu. Jam kerja sehari lebih dari 8 jam. Tetap bekerja meskipun libur hari raya idul fitri. Tapi gajinya jauh di bawah UMR Jakarta, cuma sejutaan rupiah dan uang makan.

“Itu benar-benar menyedihkan. Dia buka cabang banyak tapi gak mau nambah orang. Jadi jobdesk kita nambah. Lebaran gak bisa lebur jadi aku memutuskan untuk resign,”  kata Risa yang akhirnya bertahan kerja di F&B itu selama 6 bulan. 

Kondisi inilah yang terus-menerus dialami buruh. Mereka harus bertahan hidup mau tak mau dalam situasi seperti ini. 

Baca Juga: Di-PHK Mendadak, Sulit Dapat Kerjaan: Nasib Para Buruh Garmen di Balik Industri Fast Fashion

Syarif Arifin menyatakan padahal selain persoalan gaji kecil tadi, para buruh sebenarnya membutuhkan kebutuhan sosial atau reproduksi sosial, yaitu bisa malam mingguan karena harus mencari atau menumbuhkan tenaga baru untuk bekerja di hari Senin, namun apa daya, persoalan psikologi seperti ini tidak bisa jadi kebutuhan yang bisa dipenuhi, karena kebutuhan primer pun, seperti gaji cukup, tak pernah bisa didapatkan para buruh. 

Jadi mengharapkan punya malam minggu yang layak, masih jauh dari angan-angan!

Artikel ini merupakan bagian dari Series #Mudamarginal, serial tentang liputan kehidupan perempuan muda yang berjuang di tengah situasi yang memarginalkan hidupnya.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
#MudaMarginal: Malam Minggunya Para Buruh, Minum Kopi Starling dan Duduk di Alun-alun

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us