Mubadalah.id — Alkisah, si suami ngotot ingin merayakan maulid Nabi sebagaimana tradisi berkembang di desanya. Mulai dari bingkisan mentah hatta barang dan benda mewah. “Ini demi Nabi kita, demi merayakan kelahiran Kanjeng Nabi”.
“Jika hanya merayakan maulid begitu, apa kata tetangga nantinya”. “Toh saya juga yang mencari nafkah, kenapa kau atur-atur?”
“Ini hanya setahun sekali, kalau perayannya tidak sesuai dengan tradisi nanti banyak tetangga yang ngomongin kita.”
Begitulah pembelaan sang suami kepada istrinya. Sang suami merasa malu kepada tetangga bila hanya merayakan maulid Nabi dengan sederhana. Mengundang segelintir orang membacakan sirah-sirah Nabi, dan lalu membaca pepujian untuk Nabi. Ditutup makan-makan menikmati kehangatan dan kerukunan bersama.
Sang suami merasa turun derajatnya di mata sosial, bahkan keagamaannya dipertanyakan bila tak mampu merayakan. Apa lagi mendengar ucapan dai kondang menyuruhnya menjual sapi untuk perayaan yang maksimal.
Di sisi lain, istrinya yang tahu kondisi keuangan keluarga dan sebagai manajemen keuangan keluarga mencoba memberi saran kepada suami. Mari merayakan maulid Nabi semampunya.
Perayaan maulid Nabi cukup mengundang sanak famili dan membacakan sirah nabawi dan pepujian Nabi. Lalu memberikan makan layaknya tradisi maulid Nabi masa lalu. Makan bersama menikmati kerukunan yang penuh kehangatan.
Perayaan Maulid Kanjeng Nabi atau Kanjeng Tetangga
Diskusi antar suami istri terus berlangsung cukup alot bahkan ada persitegangan. Istri lagi-lagi mengingatkan, kapasitas undangan dan hadiah-hadiah mewah hanyalah kuantitas bukan kualitas maulid Nabi. Dan itu pula bisa mengguncang perekonomian keluarga. Apa lagi dalam situasi pekerjaan suami yang tak menentu. Penghasilan yang pasang surut.
Sayangnya, suami keras kepala. Tekadnya bulat merayakan maulid sesuai tradisi berkembang di tengah masyarakat tahun-tahun terakhir ini. Bahkan, andai uang belum ada maka berhutang adalah solusi sementaranya. Demi nama baik keluarga dari omongan tetangga.
Itulah potret kecil persitegangan keluarga di balik fenomena perayaan maulid. Perayaan maulid yang makin hari makin mewah nan megah yang makin ke sini mulai berkembang di tengah masyarakat khususnya Madura Desaku, dan mulai kabur tujuannya. “Merayakan maulid demi Kanjeng Nabi, atau Kanjeng Tetangga?”.
Tentu saja, ketidaksetujuan istrinya bukan karena perayaan maulid. Melainkan mempertontonkan kemegahan dan kemewahannya. Dalam kondisi yang sama, ekonomi tak menentu, apa lagi solusinya berhutang demi gengsi sosial. Sungguh terlihat kontras.
Rayakanlah Maulid Nabi Semampunya
Padahal, Nabi tidak mengajarkan demikian. Nabi mengajarkan lakukan kebaikan semampunya.
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
(رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ)
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Apa saja yang aku larang kalian darinya maka jauhilah, dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian…” (HR. Muttafaq alaihi).
Ajaran lain, Nabi melarang keras berhutang. Apa lagi hanya dengan alasan merayakan maulid demi terhindar omongan tetangga. Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali hutang” (HR. Muslim).
Sebagai disclaimer, tentu merayakan maulid Nabi baik. Sebagai ungkapan syukur akan kelahiran Nabi. Merayakan semewah apapun selama tidak memaksakan diri.
Faktanya tak sedikit warga yang memaksakan diri tanpa disadari lantaran tuntutan tradisi maulid Nabi yang semakin bermuara duniawi dan tak mencerminkan minimalis. Bahkan sampai mengakibatkan persitegangan keluarga.
Meninjau Perayaan Maulid Nabi
Maka, maraknya perayaan maulid yang megah dan mewah di tengah masyarakat perlu ditinjau kembali. Terlebih bagi tokoh agama yang memiliki posisi sentral di tengah masyarakat. Penting untuk mengimbangi edukasinya antara Baiknya Maulid Nabi dan bahanya bermewah-mewah.
Sebab, setiap fenomena sosial memiliki dua sisi yang kadang saling kontradiksi layaknya pedang tajam bermata dua.
Satu sisi, maulid dengan kemegahan dan kemewahan menunjukkan rasa syukur yang amat antusias akan kelahiran Nabi Muhammad. Memupuk cinta, bahwa bumi dan segala dunia yang ada tiada artinya tanpa kelahiran Nabi. Harta yang mereka miliki, tiada nilainya tanpa merayakan maulid Nabi.
Bahayanya, perayaan maulid yang mewah dan megah menjadi tuntunan tradisi yang melekat pada setiap masyarakat. Maulid layaknya salat wajib. Bahkan kemewahan dan kemegahan maulid Nabi menjadi tolok ukur strata religiusitas-spiritualitas seseorang.
Seolah yang merayakan maulid begitu mewah dengan banyaknya undangan dan mahalnya hadiah yang dibawakan dan kiai-habib kondang jauh lebih religius tinimbang yang merayakan dengan sederhana dan syahdu dan minimalis.
Konsekuensinya, orang yang hanya mampu merayakan maulid sederhana mendapat stigma buruk. Kalau tidak dapat stigma religius minus, berarti pelit atau bahkan miskin.
Solusi yang tidak solutif, tak sedikit masyarakat berhutang untuk merayakan maulid. Demi menghindari stigma religius yang minus dan omongan tetangga. Di sisi lain muncul anggapan perayaan maulid Nabi itu mahal.
Berbanding terbalik dengan anjuran Nabi untuk hidup seminimalis mungkin. Ironisnya, para tokoh agama yang seharusnya memberi edukasi seimbang untuk berbuat baik dan tak memaksakan diri. Justru memerintahkan menjual sapinya dengan kedok Maulid padahal sapi merupakan harapan hidup masyarakatnya. Anda seorang tokoh agama apa pembegal berkedok Agama?
Sebagai akhir tulisan ini, patut merenungi nasehat dalam kitab ta’lim muta’allim. “Betapa banyak aktivitas duniawi berkedok ukrawi dan aktivitas ukhrawi berselimut duniawi.” []