Mubadalah.id – Misi pembebasan perempuan menjadi hal yang sangat penting. Bermula dari latar belakang budaya patriarki yang telah mengakar kuat di berbagai negara dan berbagai agama, menjadikan perempuan sering kali masih mengalami ketidakadilan hingga sekarang. Posisi perempuan di tengah masyarakat bahkan dalam ranah yang paling kecil -di lingkup rumah tangga misalnya-, selalu berada pada posisi di bawah laki-laki.
Meskipun telah banyak aktivis yang menyuarakan kesetaraan gender dan pembebasan perempuan. Namun faktanya pandangan masyarakat terhadap perempuan masih saja menyiratkan subordinasi terhadap perempuan. Misal saja, dalam pemilihan ketua umum organisasi-organisasi di kampus.
Apabila ada yang mencalonkan perempuan sebagai kandidat, selalu saja hal tersebut mengundang proses diskusi panjang serta penuh pertimbangan. Perempuan cenderung menempati jabatan sebagai sekretaris maupun bendahara yang membantu ketua dalam ranah domestik.
Perempuan seakan tidak mendapat izin untuk menempati ruang-ruang publik untuk mengaktualisasikan diri. Kiprah perempuan terus saja terbatasi dalam ranah-ranah internal saja. Hal ini merupakan imbas dari budaya-budaya patriarki di masa lampau yang masih terbawa hingga sekarang.
Warisan Budaya Patriarki
Budaya tersebut telah terjadi pada ratusan tahun yang lalu, namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga saat ini. Perempuan tetap saja dipandang sebagai makhluk yang lemah dan tidak memiliki kemampuan melebihi laki-laki. Bahkan, dalam budaya Arab pra Islam terkenal sebuah ungkapan yang sangat merendahkan perempuan yaitu:
نصرها بكاء وبرها سرقة
“Pembelaan seorang perempuan ialah melalui tangisnya dan baktinya ialah dengan mencuri (milik suaminya untuk diberikan kepada keluarganya).
Selain itu, al-Qur’an juga menginformasikan tentang sikap masyarakat Jahiliyah atas kelahiran seorang bayi perempuan, dalam Q.S An-Nahl ayat 58:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ
Artinya: (Padahal,) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu).
Dalam tafsir Kemenag menjelaskan alasan orang-orang Arab pada masa itu merasa malu dan sangat marah apabila memiliki anak perempuan. Hal ini karena anggapan bahwa martabat perempuan tidak lebih dari barang yang dapat dengan mudah berpindah-pindah tangan. Orang-orang Arab masa itu menganggap perempuan tidak mampu membantu dalam peperangan, serta hanya menjadi barang rampasan apabila kalah dalam peperangan.
Upaya Pematahan Stigma Negatif Perempuan
Stigma bahwa perempuan tidak mampu memimpin telah terpatahkan. Terbukti ketika Ibu dari ummul mu’minin, yaitu Sayyidah ‘Aisyah radhiallahuanha menjadi pemimpin pada pertempuran Jamal tahun 656 M.
Namun, kejadian tersebut ternyata belum mampu mencabut budaya patriarki hingga ke akarnya. Meski juga telah banyak upaya pembacaan ulang terhadap tafsir-tafsir al-Qur’an klasik yang bias gender. Membaca al-Qur’an tidak boleh hanya secara tekstual saja, namun perlu memperhatikan aspek-aspek lain yang melingkupi dan menyebabkan turunnya suatu ayat.
Misi Penting Pembebasan Perempuan
Beberapa tokoh feminis muslim dari kalangan perempuan yaitu: Amina Wadud Muhsin (Amerika), Asma Barlas (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Siti Musdah Mulia (Indonesia), Nur Rofiah (Indonesia), Badriyah Fayumi (Indonesia) Lies Marcoes-Natsir (Indonesia). Adapun beberapa tokoh laki-laki yang juga memperjuangkan isu feminisme yaitu: Riff’at Hassan (Pakistan), Faqihuddin Abdul Kodir (Indonesia), serta Nasaruddin Umar (Indonesia).
Pembacaan al-Qur’an secara adil gender telah banyak dilakukan, termasuk juga oleh laki-laki. Bahkan, keterlibatan laki-laki dalam isu feminisme menunjukkan bahwa ketimpangan gender bukan hal yang dibenarkan.
Hal ini juga membuktikan bahwa upaya pembebasan perempuan dari belenggu patriarki bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh kaum perempuan. Namun sebagai bentuk pengamalan pesan al-Qur’an untuk mewujudkan kesetaraan.
Hal tersebut, juga menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang men-subordinat-kan perempuan, stigma negatif terhadap perempuan, menjadikan perempuan sebagai objek tindak kekerasan, pemberian beban ganda kepada perempuan, serta marginalisasi terhadap perempuan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan semangat pembebasan perempuan seperti yang dimaksudkan dalam al-Qur’an. []