Mitos Kecantikan: Skin Care Belum Tentu Care

mitos-kecantikan:-skin-care-belum-tentu-care

Mubadalah.id – Perempuan selalu mengalami dekadensi ketika berhadapan dengan masalah kepercayaan diri serta kecantikan. Tentu rendahnya kepercayaan diri adalah kurangnya interaksi untuk mencintai diri sendiri dan pemahaman self love. Dunia Digital juga menjerat perempuan sehingga kehilangan diri untuk mencintai dirinya.

Buktinya banyak ajang/platform digital untuk memamerkan visualisasi tubuh, wajah serta mengukur standarisasi kecantikan melalui posting, like dan coment. Padahal kecantikan adalah budaya setiap daerah, bukan hasil produksi atau industri.

Masalah Kepercayaan Diri

Survei Dove Girl Beauty Confidence Report yang mengutip surat kabar Liputan 6 menemukan bahwa hampir 54% perempuan di seluruh dunia memiliki rasa percaya diri yang rendah. Berdasarkan penelitian Watsons, surat kabar Di Jogja mengutip empat temuan dari “Survei Kepercayaan Diri Perempuan di Asia” (Wise)”.

Sementara survei  pertama menemukan bahwa hampir 50% perempuan di Asia kurang percaya diri. Survei kedua menemukan bahwa 50% perempuan tidak puas dengan pengembangan karier mereka. Lalu survei  ketiga menemukan bahwa lebih dari 70% perempuan merasa sulit menjadi ibu rumah tangga dan perempuan karir. (Delinda, dkk, 2023)

Kepercayaan diri berbeda dengan fenomena narsistik. Kepercayaan diri juga meliputi mencintai diri sendiri (self love), menghargai diri sendiri (self respect), penerimaan diri sendiri (self esteem). Narsistik adalah kondisi di mana seseorang merasa dirinya paling penting, sangat membutuhkan perhatian, dan kekaguman berlebihan. Dengan demikian,i tulisan ini akan mengkaji membongkar tirai- tirai palsu industri kecantikan.

Kecantikan Sebagai Simbol

Cantik merupakan suatu kata sifat yang selalu menggambarkan keindahan. Tetapi kebanyakan budaya yang menafsirkan apa itu “Cantik” selalu memiliki kriteria dan standarisasi setiap tempat. Perempuan selalu kita pandang sebagai objek keindahan. Dan selalu tersimbolkan dengan Dewi Kesuburan. Maka banyak kasus tentang diskriminasi perempuan.

Siapa yang mendambakan tubuh langsing, kulit putih, wajah mulus?. Apakah itu benar- benar mendefinisikan kecantikan secara umum? Perlu kita ketahui kecantikan umum adalah produk dominasi budaya yang ada. Sejauh mana budaya cantik dari daerah menguasai secara umum. Seperti budaya cantik ala Korea Selatan yang sedang menjadi tren yakni “Korean Wave”.

Padahal setiap budaya cantik memiliki kriteria berbeda-beda. Misalnya Mengutip dari Ella dan Yepa, perempuan Dayak kita anggap cantik bukan hanya jika kulitnya cerah, tapi juga banyak anting yang menggantung di telinganya. Bisa kita katakan semakin banyak anting yang dimiliki seorang perempuan, maka semakin cantik pula dirinya.

Selain itu, masyarakat di wilayah Chiang Mai Thailand juga memiliki gagasan berbeda tentang kecantikan. Suku ini percaya bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berleher panjang. Oleh karena itu, Suku Karen mengalungkan leher mereka dengan kawat kuningan di lehernya. Mereka telah menjaga tradisi ini sejak kecil (gadis). (Permata Mustika, Nanda Jon, 2017)

Kecantikan yang kita pandang dengan kulit putih, mulus, langsing adalah adanya fenomena gelombang budaya. Yakni suatu budaya daerah atau negara lain yang keluar mempopulerkan budayanya sehingga dianut oleh banyak orang.

Di sisi lain, kecantikan selalu menekankan perempuan pada tuntutan budaya. Di mana perempuan terpaksa menjadi objek pemuas di kalangan industri kecantikan dan pelaku budaya. Padahal kecantikan adalah simbol kemuliaan seorang perempuan. Simbol tersebut adalah hasil interpretasi interaksi sosial yang ada dengan lingkungan sekitar.

Komersialisasi Perempuan

Industrialisasi mengenai kecantikan mengalami pertumbuhan setiap tahun dampak globalisasi semakin tampak dengan jelas adanya serangan budaya- budaya luar. Seperti kejadian “Korean Wave”, perempuan secara tidak sadar sedang terpengaruhi dan terjajah pengetahuan dengan adanya trending-trending akibat globalisasi dan digital. Perempuan secara tidak langsung terpengaruhi untuk membeli produk kecantikan (Skin Care) dari korea, hanya untuk memenuhi standar kecantikan pasar.

Industri kecantikan merupakan industri  yang besar dan berkembang pesat. Majalah Forbes memperkirakan setidaknya ada 40 startup kecantikan yang dipimpin oleh perempuan. Artinya, perempuan tidak hanya menjadi pengguna utama, namun juga pemain kunci dalam industri yang nilai globalnya pada tahun 2016 diperkirakan mencapai $445 miliar.

Selain itu industri kecantikan diperkirakan akan terus tumbuh, dengan ukuran pasar diperkirakan mencapai $699,45 miliar pada tahun 2023. Pasar industri kecantikan ini menawarkan berbagai produk kecantikan seperti perawatan rambut, perawatan kulit, perawatan mulut, makeup, parfum dan deodoran, sabun, shower gel, tabir surya, dan produk kecantikan lainnya. (Permata Mustika, Nanda Jon, 2017)

Artinya persepsi kecantikan semakin hari semakin menjadi produk dan barang yang hanya menguntungkan segi ekonomis pelaku industri. Dan semakin memburamkan pengguna produk kecantikan akan nilai- nilai filosofis dan estetikanya. Kecantikan berubah dari budaya kepada kebutuhan fisiologis secara destruktif.

Misalnya seorang anak seumur Sekolah Menengah Pertama, harus memenuhi kebutuhanya hanya untuk dianggap cantik dan mempesona hanya untuk menarik lawan jenis. Dan bisa kita bayangkan semakin hari produk kecantikan Skin Care semakin merajalela seakan- akan sudah menjadi kebutuhan pokok perempuan.

Skin Care

Sebenarnya kecantikan hadir bukan sebagai tuntutan tapi sebagaimana perempuan dapat memperindah makna diri dan tubuhnya. Skin Care membuat perempuan semakin tertekan dengan pilihan-pilihannya. Atau pun hanya menuruti kebutuhan pasar. Sedangkan sekali lagi perempuan bukan objek pemuas hasrat industri atau komersialisasi.

Skin Care belum tentu peduli kepada perempuan. Masih banyak juga produk- produk yang gagal, banyak pemakai yang gagal, tumbuh jerawat, wajah lebam, yang membuat perempuan juga semakin tersiksa dan tidak menerima diri apa adanya.

Laporan YPKKI (Yayasan Kesehatan dan Pemberdayaan Konsumen Indonesia) tahun 2006 menyebutkan bahwa setiap tahun keluhan konsumen terhadap kosmetik khususnya produk perawatan kulit dan obat anti inflamasi semakin meningkat, yaitu 27 merek kosmetik hingga saat ini. Produk yang dikatakan dapat merusak kulit dan obat penurun berat badan dalam bentuk bubuk atau pi1 yang merusak sistem tubuh telah ditarik dari pasaran (Handoko, 2006).

Padahal, yang paling dekat dengan kita adalah peristiwa yang terjadi pada 29 Maret 2007 di kawasan Turi, Sleman Yogyakarta, yang menimpa Ana Surjaningsi (30) dan Syo Aji Purnomo (17). Mereka berdua meninggal. Obat tersebut diduga merupakan obat penurun berat badan.

Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa konsep kecantikan saat ini telah menjadi “efek kecantikan” yang terdefinisikan oleh dunia kecantikan. Wanita yang awalnya ingin mendongkrak harga dirinya kehilangan identitas karena “pria tampan” dalam iklan tersebut. (Syafrini Delmira, 2011)

Penindasan terhadap Tubuh Perempuan

Adapun penindasan pertama dari produk Skin Care adalah munculnya persepsi akan kebutuhan pokok. Yang mana kebutuhan pokok tersebut terkadang dilebih-lebihkan oleh sebagian perempuan, misalnya operasi plastik dll.

Kedua tuntutan Pasar menimbulkan Insecurity (kebutuhan untuk selalu diterima). Di mana dari perasaan itu muncul gelisah, cemas terus menerus, ketakutan berlebihan. Sehingga Perempuan menjadi bodoh dan tidak memahami dirinya lebih sempurna daripada produk kecantikan yang ia pakai.

Ketiga adalah Body shaming, Beberapa iklan dan produk kecantikan secara tidak langsung (atau langsung) membuat wanita merasa malu terhadap tubuhnya. Terlebih jika tidak memenuhi standar kecantikan seperti yang ada dalam iklan.

Keempat Iklan yang tidak realistis, iklan produk kecantikan hanya menampilkan bentuk ideal, dan menghegemoni perempuan, sehingga yang timbul adalah kebenaran menurut pasar industri. Misalnya yang cantik harus pakai produk ini dan ini.

Skin Care belum tentu care, yang menumbuhkan care kita adalah pendidikan akan kecantikan sesungguhnya. Bukan dari hasil dominasi budaya atau pertukaran budaya. Tapi penggalian lebih dalam akan makna kecantikan yang subjektif. Perempuan memiliki hak untuk menafsirkan kecantikan untuk dirinya sendiri. Sekian. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Mitos Kecantikan: Skin Care Belum Tentu Care

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us