Viral Influencer Alami KDRT, Sulitnya Perempuan Korban Lepas dari Belenggu Kekerasan

viral-influencer-alami-kdrt,-sulitnya-perempuan-korban-lepas-dari-belenggu-kekerasan

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akhir-akhir ini banyak diperbincangkan lagi. Kali ini, salah satu pemantiknya adalah kasus KDRT yang dialami oleh IN, seorang mantan atlet anggar sekaligus influencer.

Beberapa hari lalu, ia mengunggah rekaman CCTV yang menunjukkan dirinya mengalami kekerasan dari suaminya, A. Lelaki itu terlihat memukul IN beberapa kali di tempat tidur. Di tempat yang sama, anak mereka yang masih bayi berbaring di sebelahnya.

IN menuliskan, selama 5 tahun berumah tangga, ia telah mengalami berbagai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Ia juga menyampaikan telah berkali-kali memaafkan perselingkuhan dan KDRT dari pelaku, tetapi hal itu terus berulang. Video yang diunggah IN sendiri itu pun viral dan mendapatkan respon massif dari masyarakat yang marah dan bersimpati kepadanya.

Kolom komentar unggahan IN di Instagram pun dibanjiri dukungan kepadanya, juga amarah kepada sang suami. Masyarakat menyayangkan terjadinya kasus tersebut. Banyak pula yang memberikan informasi mengenai tindakan yang dapat dilakukan oleh IN selanjutnya, seperti melapor dan mencari tempat aman.

Baca Juga: ‘It Ends With Us’, Sorak-Sorai untuk Lily Bloom Yang Berani Memutus KDRT

KDRT atau kekerasan terhadap istri (KTI) yang dialami IN tentu bukan kasus pertama. Catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat sebanyak 674 kasus KDRT yang merupakan KTI dilaporkan sepanjang 2023. Angka tersebut naik sebanyak 22 persen dibanding jumlah pelaporan kasus pada 2022.

Selain itu, laporan dari Lembaga Layanan juga menunjukkan bahwa KTI berada pada posisi tertinggi dalam kompilasi pengaduan mereka. Angkanya mencapai 1.573 kasus sepanjang 2023. Berbagai laporan yang diterima tersebut hanya puncak gunung es dari kejadian KDRT yang sesungguhnya di lapangan, termasuk yang tidak terlaporkan. Artinya, KDRT yang mencakup KTI masih marak terjadi di Indonesia, kendati negara ini memiliki Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak lama.

Sulitnya Perempuan Lepas dari Jerat KDRT 

KDRT adalah isu dengan permasalahan yang kompleks dan berlapis. Hal ini terlihat dari ramainya pembahasan mengenai kasus yang dialami IN di platform media sosial lainnya. Berbagai topik menjadi diskursus. Mulai dari prestasi yang pernah diraih oleh perempuan tersebut, suaminya yang ternyata mengajak menikah sejak IN masih SMA, dan sebagainya. Topik lain yang juga muncul adalah tentang sulitnya korban KDRT lepas dari jerat kekerasan. KDRT yang IN alami membuat warganet mulai membandingkan dengan kasus-kasus KDRT yang telah terjadi pada selebritas atau public figure sebelumnya. Mereka menyoroti adanya kecenderungan korban KDRT untuk rujuk kembali atau terus bertahan dalam hubungan dengan kekerasan.

IN sendiri telah mengalami KDRT selama bertahun-tahun. Ia mengaku, selama itu dirinya berusaha menutupi hal yang ia alami karena tidak ingin membuka ‘aib’ rumah tangganya dan bertahan demi anak.

Rasa heran kerapkali muncul di antara masyarakat ketika melihat perempuan korban KDRT memutuskan untuk rujuk atau tidak bercerai dengan pasangannya yang merupakan pelaku kekerasan. Barangkali timbul pertanyaan: mengapa para korban cenderung sulit membebaskan diri dari hubungan yang tidak sehat itu? Bukankah memutuskan untuk berpisah dengan pasangan yang abusive merupakan hal yang harus dan mudah dilakukan?

Namun, satu hal yang masih sulit dipahami oleh banyak orang adalah alasan di balik sulitnya para korban KDRT untuk membebaskan diri. Para korban KDRT, khususnya perempuan, seringkali memiliki dilema tersendiri dalam menghadapi kekerasan domestik yang dialaminya. Sebagian korban mampu memutuskan untuk berpisah. Tetapi sebagian yang lain memiliki berbagai pertimbangan sehingga sulit untuk terbebas dari jeratan kekerasan yang dialaminya. 

Baca Juga: Film ‘Heartbreak Motel’: Toxic Relationship dan Trauma Masa Kecil, Hindari atau Hadapi?

Perempuan korban KDRT yang memutuskan tetap mempertahankan hubungannya biasanya sedang terperangkap dalam cycle of violence. Teori siklus ini pertama kali dicetuskan oleh Lenore Walker pada tahun 1979. Keempat siklus tersebut antara lain siklus ketegangan, siklus kekerasan, siklus rekonsiliasi, dan siklus bulan madu. Dalam siklus bulan madu, biasanya pelaku kekerasan melakukan manipulasi untuk meyakini korban bahwa kekerasan yang ia lakukan tidak akan terjadi lagi. Tak sedikit juga kasus ketika pelaku memanipulasi korban untuk mempercayai bahwa kekerasan yang dilakukan terjadi karena kesalahan korban.

Siklus kekerasan ini akan terus berputar sehingga sangat mungkin bentuk kekerasan yang akan terjadi selanjutnya menjadi lebih besar dan membahayakan. Di sinilah perempuan korban KDRT sebagai pihak yang rentan mengalami berbagai konflik batin dalam memutuskan apakah akan melanjutkan atau melepaskan hubungannya.

Berbagai Faktor Pertimbangan

Pandangan masyarakat patriarki terhadap perempuan korban KDRT sering memperburuk situasi. Budaya menyalahkan korban atau victim blaming masih menjadi respon sebagian orang terhadap kabar mengenai kasus KDRT. Dalam hal kasus yang dialami IN, beberapa komentar justru mencibirnya karena tidak bercerai dan masih bertahan dalam hubungan dengan kekerasan. Mereka juga membandingkan kasus IN dengan sosok publik lain yang juga pernah mengalami KDRT beberapa waktu silam, tapi berakhir rujuk.

Fakta bahwa hubungan pernikahan masih sangat didasari oleh budaya patriarki mestinya dipahami semua orang. Masih terjadi ketidaksetaraan gender dan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan pernikahan. Ini pula yang menjadi dilema perempuan korban. Relasi kuasa tersebut berpengaruh terhadap banyak hal: ekonomi, psikologis, hingga nasib anak.

Pada kasus KDRT dalam hubungan pernikahan, ketimpangan relasi kuasa kerap melemahkan perempuan dengan ketergantungan ekonomi dan psikologis. Misalnya, perempuan dibuat tidak memiliki sumber penghasilan sendiri sehingga harus bergantung secara finansial kepada pelaku KDRT. Alhasil, perempuan merasa sulit untuk mandiri secara ekonomi dan takut tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, hal itu bukan berarti KDRT hanya dapat terjadi pada keluarga dengan kelas ekonomi dan sosial tertentu.

Baca Juga: Film ‘Maid’ Perjuangan Korban KDRT yang Berani Keluar dari Rumah

KDRT bisa terjadi pada siapa saja, termasuk sosok publik atau influencer seperti IN, meski ia secara umum tak terkendala secara ekonomi. Kasus KDRT bisa terjadi karena muncul keinginan pelaku untuk mempertahankan kontrol dan dominasi dalam hubungan. Kekerasan dari pelaku laki-laki mungkin jadi caranya untuk mengatasi perasaan inferior atau kehilangan kontrol karena perempuan yang menjadi pasangannya lebih berdaya secara finansial dan sosial.

Faktor psikologis juga sering ditemukan dalam banyak kasus KDRT dan KTI. Pelaku memanipulasi korban dengan berbagai cara. Salah satunya, pelaku mungkin akan ‘meminta maaf’ dan menempatkan korban di posisi serbasalah. Kemudian korban merasa masih ada sedikit harapan bahwa pelaku akan berubah dan kekerasan akan berhenti suatu hari nanti. Atau, korban dibuat merasa tidak berharga dan merasa bahwa kekerasan itu pantas mereka dapatkan atas kesalahan mereka. Sering terjadi juga, pelaku justru mengancam akan menyakiti korban atau anak mereka jika mencoba untuk meninggalkan hubungan tersebut. 

Perihal anak juga banyak menjadi pertimbangan besar dalam memutuskan berpisah. Beberapa perempuan tidak ingin anaknya memiliki keluarga yang ‘tidak utuh’ jika memutuskan untuk bercerai. Atau, seandainya perempuan sudah memutuskan untuk meninggalkan pelaku KDRT, baik pelaku maupun keluarga dan lingkungannya justru mencegahnya karena hal tersebut. Hal inilah yang diakui IN menjadi alasannya tidak segera bercerai dengan A sebagai pelaku. Padahal, anaknya sendiri turut menyaksikan kekerasan yang dilakukan A terhadap IN dalam rekaman video yang diunggah.

Stigma dan Regulasi yang Lemah

Selain faktor-faktor tersebut, adanya stigma mengenai janda atau perempuan single parent tentunya memiliki peran penting pula. KDRT kerap dianggap ‘aib’ yang harus disembunyikan karena merupakan ‘masalah privat dalam rumah tangga’. Jika ‘aib’ tersebut menyebar, justru korban yang disalahkan. Selain itu, masyarakat juga masih memiliki pola pikir bahwa KDRT hanya ‘ujian’ dalam berumahtangga alih-alih tindak kekerasan.

Tidak sedikit pula perempuan yang dicibir karena menceraikan suaminya. Sistem patriarki yang mengakar dalam pun tak jarang justru menyalahkan perempuan. Masih ada keyakinan bahwa dalam suatu hubungan pernikahan, KDRT wajar terjadi khususnya untuk ‘mendisiplinkan’ istri yang tidak mengikuti perintah suami. Itulah alasan banyak perempuan yang memilih untuk diam ketika mengalami kekerasan domestik. 

Padahal, memilih untuk bersuara dan memperjuangkan keadilan merupakan bukti kekuatan, bukan kelemahan. KDRT juga bukanlah suatu aib, tetapi musuh bersama yang harus dihentikan dan dihapuskan.

Selain itu, negara pun lagi-lagi turut serta dalam mempersulit kesejahteraan hidup perempuan. Aturan mengenai KDRT telah ditetapkan dalam UU Penghapusan KDRT pada tahun 2004, tetapi hanya termasuk sebagai delik aduan. Hal itu menyebabkan korban harus mengadukan dan berhadapan secara langsung dengan pelaku yang adalah suaminya. Undang-undang yang masih tidak berpihak kepada perempuan pun menambah dilema perempuan korban yang ingin memperjuangkan keadilannya. Ditambah lagi, aparat penegak hukum (APH) masih cenderung mengesampingkan laporan kekerasan seperti KDRT. Keseriusan APH dibutuhkan dalam penanganan dan penghapusan KDRT.

Pentingnya Dukungan terhadap Korban KDRT

Viralnya kasus kekerasan yang dialami IN mestinya semakin menyadarkan bahwa KDRT adalah sesuatu yang nyata dan marak terjadi di sekitar kita. Masih banyak kasus lainnya yang tidak tersebar, terdokumentasikan, atau bahkan disadari oleh korbannya sendiri. Yang paling dibutuhkan korban adalah dukungan ketimbang stigma dan penghakiman.

Utamakan mendengarkan korban dengan empati. Korban butuh ruang untuk berbicara tanpa dihakimi atau disanggah. Jangan pula meremehkan pengalaman korban. Selain itu, pada akhirnya, korbanlah yang berhak memutuskan langkah selanjutnya yang akan ia ambil. Kita mungkin dapat memberikan saran, tapi memaksanya untuk segera meninggalkan pelaku atau menempuh cara-cara tertentu juga tidak tepat. Hargai keinginan dan waktu bagi korban untuk memutuskan.

Alih-alih memaksakan pilihan, kita bisa bantu memberikan informasi tentang rumah aman, layanan konseling, bantuan hukum, dan akses layanan lainnya yang kira-kira dibutuhkan. Jika korban berkenan, kita juga bisa membantu menghubungi layanan darurat atau organisasi yang dapat memberikan bantuan langsung.

Mendukung korban KDRT membutuhkan kesabaran dan pengertian. Pelajari lebih banyak tentang KDRT, termasuk tanda-tanda, dampak, dan cara terbaik untuk mendukung korban. Ini akan membantu memberikan dukungan yang lebih efektif.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Viral Influencer Alami KDRT, Sulitnya Perempuan Korban Lepas dari Belenggu Kekerasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us