‘Aku Gak Mau Asal Follback Akun’: Dampak Traumatis Korban KBGO yang Dikirim Foto Kelamin

‘aku-gak-mau-asal-follback-akun’:-dampak-traumatis-korban-kbgo-yang-dikirim-foto-kelamin

Awalnya, Ria senang mengakses media sosial untuk berinteraksi dengan teman-temannya tanpa perlu bertatap wajah. Ria asyik mengobrol dengan teman-temannya, membagikan foto dan videonya saat ia liburan, hingga mencoba fitur-fitur menarik yang tersedia di Instagram. 

Namun, tiba-tiba, media sosial berubah menjadi momok menakutkan bagi Ria. Pasalnya, ia pernah dikirimi foto alat kelamin laki-laki oleh salah satu akun anonim yang kebetulan diikuti juga oleh teman-temannya.

Kejadian itu Ria alami ketika ia masih mengenyam pendidikan aliyah (setingkat SMA) di pondok pesantren. Ia tidak mengira akun anonim itu pada akhirnya mengirim foto kelaminnya tanpa consent (cyber flashing)

Menurut Komnas Perempuan, kejadian yang dialami Ria termasuk salah satu dari jenis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) cyber sexsual harrasment atau pelecehan online. Cyber harassment didefinisikan sebagai penggunaan teknologi untuk menghubungi, mengganggu atau mempermalukan korban.

Secara cepat, Ria didera rasa takut dan cemas. Ia cemas akan mendapatkan peristiwa serupa di kemudian hari. Sebagai bentuk langkah cepat, ia mulai melakukan penyeleksian terhadap followersnya. Ia tidak ingin mengikuti kembali akun-akun yang tidak dikenalnya di dunia nyata. 

“Rasa takut. Aku takut kalau itu keulang lagi. Itu anjir ga nyaman banget. Yang ketika kita kebayang-bayang sampe rumah, setiap hari,” ungkapnya pada (03/06/2024)

KBGO dapat menimbulkan dampak psikologis berkepanjangan layaknya di dunia nyata. Indiah Wahyu Andari, selaku Manajer Program Pendampingan Rifka Annisa, menjelaskan hal itu terjadi karena peristiwanya tidak nyata, tapi memenuhi kepala korban, kemudian akan membuat cemas. 

“Dalam hal ini serangan di cyber seperti itu, sesuatu yang tidak terlihat, tapi akan menghantui pikiran dan imajinasi korban karena tidak tampak di depan nyata. Kalau semisal takut akan ular di depan kita itu bisa disingkirkan, tapi kalau yang ini tidak bisa karena di kepala,” jelasnya pada (30/06/2024)

KBGO Marak Terjadi, Bukti Ruang Siber Belum Aman

Awalnya, Ria menduga akun pelaku adalah santri dari asrama putra. Dugaan tersebut datang karena pengikut dari akun itu adalah teman-temannya sesama santriwati. 

Dalam pikiran Ria saat itu sederhana: “Dia diikuti sama temen-temenku”. Kepercayaan yang dangkal itu kemudian membuat jemari Ria mengklik tulisan ‘ikuti balik’. Tak lama setelahnya, akun itu membuka percakapan lewat direct message Instagram.

“Nah, selayaknya orang kenalan ya. Mulai tanya asalnya mana, panggilannya siapa ya gitu-gitu lah kayak nanya pada umumnya,” terangnya.

Pada tahun 2020, Plan International pernah melakukan riset tentang KBGO. Riset ini melibatkan 14 ribu anak perempuan dari 31 negara. Hasilnya adalah setengah dari  responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di ruang siber. Riset itu juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengetahui identitas pelaku. Berikut rinciannya: 36% orang asing, 32% anonim, 29% pengguna media sosial yang bukan teman, dan 11% pacar/mantan pacar.

Ria tidak mengetahui sama sekali identitas si pelaku. Si pelaku pun tidak mengunggah foto diri di akun miliknya. Maka, Ria tidak bisa mengidentifikasi siapa sebenarnya di balik akun anonim itu. Ria juga tidak menaruh rasa curiga kepada akun itu. Ia mengira bahwa tujuan si pelaku memulai obrolan adalah untuk menjalin pertemanan.

Setiap hari si pelaku mengirimi pesan berupa pertanyaan-pertanyaan. Ria hanya menjawab sekadarnya. “Setiap harinya itu aku ditanya ‘lagi apa? Di mana? Ngapain?’ Misalkan aku jawab lagi duduk, dia balik nanya kayak ‘duduk di mana?’ Terus aku jawab kursi, eh dia tanya lagi ‘kenapa ga duduk di lantai?’ Kayak orang mau ngguyuni, mau ajak bercanda kek, atau orang iseng doang, orang gabut. Ya udah makanya aku jawab seadanya.”

“Aku kesel. Kesal karena dia nanyanya kayak gitu,” keluhnya.

Baca Juga: Pusat Data Diserang, Aktivis: Mana Keterbukaan Pemerintah? Malah Saling Lempar Tanggung Jawab

Saat ia mengalami KBGO,  ia sedang pergi berbelanja bersama temannya. Sebenarnya, pesan notifikasi darinya sudah Ria ketahui dari rumah. Karena mendapatkan perasaan yang tidak mengenakan, ia urung membuka pesan itu di rumah. 

“Kok tiba-tiba ngirim ya? Akhirnya, waktu di jalan aku buka. Udahlah buka aja. Waktu dibuka itu, ehmm, ya udahlah fotonya gak bagus gitu intinya . Foto gak senonoh lah gitu,” cerita Ria.

Foto itu ia buka saat perjalanan menuju swalayan. Sepanjang belanja di swalayan hingga perjalanan pulang, foto itu terbayang jelas di benak Ria.  

“Padahal  dibukanya tuh gak kayak yang ngeliatin depan gitu, kayak fokus ngeliatin hape,” ujarnya.

Walaupun ia melihatnya sekilas, tapi ia bisa mengetahui bahwa foto yang dikirimkan si pelaku adalah alat kelaminnya. Ia bingung.

“Aku bukanya di jalan. Anjir kalau aku buka di rumah, nanti setiap kali aku pulang ke rumah aku malah inget. Mendingan buka di jalan. Jalan itu kan gak setiap hari aku lewatin,” tuturnya.

Setelah mengalami KBGO, Ria langsung bertanya ke beberapa teman yang diikuti akun Instagramnya oleh si pelaku. Menurut pengakuan teman-temannya, mereka sama sekali tidak tahu mengenai identitas si pelaku. Jawaban mereka serupa: “Engga, sih, aku ga kenal. Ya dia cuma follow aku aja. Ya udah aku follback.”

Menurut Kalis Mardiasih, aktivis perempuan, fenomena KBGO yang masih marak terjadi menunjukkan bahwa ruang siber belum aman bagi perempuan. Setiap orang, lanjutnya, memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang siber yang aman dan terbebas dari KBGO.

Baca Juga: Stalking Itu Kekerasan, Bukan Kasih Sayang: Melihat Kasus Stalking AP Ke N

“Ruang siber yang aman dan ideal itu harapannya bukan hanya ‘melindungi diri’. Situasi ruang siber sekarang itu belum aman. Jadi langkah pencegahan itu ternyata belum cukup adil, apalagi bagi perempuan. Karena yang dimaksud pencegahan adalah mencegah seseorang menjadi pelaku,” terangnya pada (13/06/2024)

Pernyataan Kalis sejalan dengan data jumlah kasus KBGO yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan. Pada tahun 2020, terdapat 46 kasus KBGO. Tahun berikutnya meningkat drastis hingga 489 kasus.

Peningkatan jumlah kasus ini tak dimungkiri karena pandemi covid-19 yang mengakibatkan penetrasi internet meningkat. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan penetrasi internet ke seluruh daerah. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga tahun 2024 penetrasi internet di Indonesia menyentuh angka 79,5%. 

Data terbaru yang dikeluarkan Komnas Perempuan mengenai jumlah kasus KBGO di Indonesia – tahun 2023 – bahkan lebih banyak lagi. Dalam data tersebut menunjukkan telah terjadi 1.272 kasus KBGO. KBGO menjadi kasus tertinggi dibandingkan dengan kasus pelecehan, pemerkosaan, dan pencabulan. 

Sebagai pihak yang sudah lama mendampingi penyintas, Indiah sangat menyayangkan konsumsi internet yang tinggi di Indonesia tidak dibarengi dengan pemahaman digital yang baik. Banyak pengguna media sosial melemparkan komentar seksis atau mengirim Direct Message seenaknya seperti yang dialami Ria.

Sulitnya Keluar dari Kecemasan di Tengah Lingkungan yang Tidak Suportif

Paska mengalami Cyber Flashing, Ria segera segera memblokir akun si pelaku. Tak hanya itu, ia juga mulai membatasi aktivitasnya di media sosial. Ia tidak lagi sembarang mengikuti ulang akun-akun anonim. “Dari situ, aku gak mau asal ngefollback akun yang follow akunku,” paparnya. 

Kekhawatiran jika kejadian yang sama terulang kembali membuat Ria selektif dalam pertemanan di dunia digital. Ia menjadi sangat selektif untuk mengikuti akun orang lain dan hanya menerima permintaan langsung di tempat jika sudah bertatap muka.

“Pokoknya semenjak itu, ya udah kalau mau di follback akunnya, bilanglah di tempat. Ketemu langsung. ‘Ria, follback, ya!’ jadi aku lebih suka ketika kita ketemuan, main. Nah dari situ makanya aku tau, oh orang ini nih yang hari ini nge-follow dan di depanku langsung ngomong dan langsung aku follback,” jelasnya.

Indiah menjelaskan hal yang dialami Ria adalah bentuk penarikan diri dari sosial. Dampak kecemasan itu pun bisa beragam di setiap orang, seperti yang dialami Ria yaitu tidak mau mengikuti balik, sementara  bentuk lainya takut keluar rumah, takut ketemu orang,membatasi interaksi bahkan sampai memblokir semua akun. 

“Untuk memulihkan tentu dia butuh ahli untuk konseling profesional, atau kalaupun  tidak ada, bisa di lingkungan sosialnya adalah menjadi suportif pada korban dan tidak menyalahkannya atas yang terjadi,” papar Indiah. lingkungan sosial ini bisa dimulai dari keluarga atau sahabat yang dipercaya.

Baca Juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas

Sayangnya, Ria tidak memiliki lingkungan yang ia anggap cukup suportif. Ia memilih  diam dan tidak menceritakan kejadian KBGO yang dialami dirinya kepada siapapun, termasuk orang tuanya. Ia juga khawatir orang-orang akan menghakimi dirinya tidak bisa menjaga diri jika bercerita secara terus terang kepada mereka. Terlebih orang tuanya.

 “Kalau dari orang tua takut dinilai ‘loh, kok, bisa akun ini ngirim gitu? kamu abis ngapain?’ Mesti ujung-ujungnya yang disalahin aku. Daripada ribut, atau malah dibatasi, ya udah mending disimpen sendiri aja,” tuturnya.

Kekhawatiran Ria bukan hanya kekhawatiran personalnya saja. Sejalan dengan penuturan Kalis, bahwasanya banyak orang tua yang belum dapat memberikan pengasuhan digital yang baik pada anak-anaknya. Saat anak-anak mengalami kekerasan di ranah digital, banyak orang tua yang seketika melakukan straight parenting. 

 “Strict perenting kayak misal disita hpnya, nggak boleh main HP lagi, gak boleh main sosmed lagi dan gak dibeliin kuota,  jadi sifatnya hukuman. Tapi itu sampe kapan? paling-paling bulan depannya,” tutur Kalis.  

 Dalam buku terbaru Kalis berjudul Luka-luka Linimasa, menjelaskan bahwa orang tua memiliki peran untuk membangun sumber daya manusia yang peka akan ranah digital. Pada era ini dunia maya tak ubahnya dunia nyata. Orang tua dapat melakukan. dalam istilah Kalis, ‘pengasuhan digital’. 

Baca Juga: Platform Sosmed Mesti Ikut Tanggung Jawab Cegah Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual

“Penting buat orang tua sadar bahwa kita juga hidup di ruang siber. Kenyataannya sekarang lebih banyak jam kita bahkan semua dari tubuh kita sudah terdigitalisasi,” tulis Kalis dalam buku terbarunya.

Strict parenting inilah yang membuat Ria enggan bercerita dan memendam sendiri KBGO yang ia alami. Padahal yang dibutuhkan korban menurut Indiah adalah dukungan suportif dari lingkungannya. 

“Dalam pemulihan korban dibutuhkan ekspresi suportif secara langsung dan terbuka untuk meyakinkan korban. Sikap ini bisa berbentuk kalimat dukungan seperti ‘kalau kamu butuh teman, aku siap’, ‘aku mendukungmu’, menemani korban, mengajak ngobrol selain masalahnya, atau mengerjakan proyek strategis,” jelas Indiah.

Berdasarkan pengalamannya mendampingi penyintas, Indiah memaparkan tiga cara yang dilakukan oleh penyintas untuk meredakan kecemasan. Pertama, meredakan kecemasan dengan melakukan hal-hal positif. Kedua, dengan mendekat kepada teman-teman yang suportif dan memberi energi positif. Ketiga,  memberikan edukasi kepada kelompok yang kontra atau tidak peka terhadap kasus kekerasan seksual, seperti menulis atau menceritakan kisahnya ke media.

Baca Juga: Stop Merekam Tanpa Izin, Penghormatan Hak Privasi Itu Isu Feminis

“Jadi alih-alih memikirkan lingkungan yang tidak bisa dia kontrol, dia kembali ke hal-hal yang bisa dikontrol dan bermanfaat di hidupnya misal kerja atau kuliah,” tuturnya.

Rifka Annisa, salah satu lembaga swadaya masyarakat yang memiliki fokus pada kekerasan terhadap perempuan, salah satunya kekerasan seksual, memiliki 5 tahapan pemberdayaan korban. 

Pertama adalah prekontemplasi itu penyangkalan. “Dia ini tidak sadar walau sudah di reach out sama temennya dan akan menyangkal,” papar Indiah. 

Kedua, itu kontemplasi dimana dia sudah sadar apa yang terjadi di dirinya, tapi belum berani melakukan sesuatu. Ketiga adalah tahap preparation atau korban itu mulai membuat rencana-rencana. Di tahap ini dia baru mulai untuk mencari bantuan atau cerita ke orang. keempat merupakan tahapan action atau tindakan. 

Baca Juga: Nakes Bikin Konten Kurang Sensitif di Sosmed, Kita Bisa Apa?

“Setiap rencana pasti ada konsekuensinya, kayak misal rencana mau lapor polisi konsekuensinya itu ada waktu, biaya dan efforts kesana. Atau ketika cerita itu dipendam sendiri. Nggak ada yang enak tapi rencana mana yang paling nyaman untuk korban itu sendiri,” ujarnya. 

Terakhir adalah tahap maintenance. Di tahap ini sudah berdaya, artinya apapun yang orang katakan tentang kasusnya ya dia sudah tidak masalah. “Bahkan si korban sudah bisa menjadi Hero, from zero to hero.  Jadi dia bisa lebih peduli pada orang lain yang mengalami peristiwa dari orang lain, mengajak untuk lapor,” lanjutnya.

Pada kasus Ria, Indiah mengapresiasi langkahnya untuk berani bercerita dan bersedia kisahnya diangkat ke media. Pada tahapan ini sudah mulai bertindak, walaupun pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. 

“Ada konsekuensinya kalau tidak semua orang pro, pasti ada yang kontra. Nggak ada yang enak tapi rencana mana yang paling nyaman untuk korban itu sendiri,” katanya.

Adapun Ria saat ini memiliki banyak pertimbangan dalam menerima teman di media digital. beberapa aplikasi ia miliki untuk mengecek validitas kontak atau akun yang berkenalan dengannya, sebut saja get contact. semua itu ia lakukan untuk meminimalisir kemungkinan yang pernah terjadi di masa remajanya. 

“Menurutku, orang-orang harus tau. Bagi mereka ‘follback doang, apa susahnya sih mencet.’ Ga semua yang kamu pikir enak, gampang, ringan, mudah, cuman ini kok. Tapi kan bagi orang ga cuman cuman. Jadi sekarang lebih banyak mempertimbangkan apa-apa,” pungkas Ria


Ria, bukan nama sebenarnya.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Aku Gak Mau Asal Follback Akun’: Dampak Traumatis Korban KBGO yang Dikirim Foto Kelamin

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us