Bagaimana Kamu Harus Jadi Anak Muda Di Masa Roti Harga 400 Ribu dan Nepotisme Keluarga Istana?

bagaimana-kamu-harus-jadi-anak-muda-di-masa-roti-harga-400-ribu-dan-nepotisme-keluarga-istana?

Sudah terbukti khan, jika anak muda sekarang gak apolitis, yang cuma suka gadget dan Mager? Maaf om, kami gak setuju!

Sudah terbukti juga khan, jika para perempuan muda juga bukan orang yang suka nyinyir, SJW yang suka protes-protes kasus patriarki, dan mengkritik gak jelas?. Maaf, om kami benar-benar gak setuju!

Yang terjadi adalah, anak muda sekarang adalah mereka yang secara organik turun ke jalan, beramai-ramai melakukan aksi offline di DPR dan aksi online, memprotes harga roti Rp. 400 ribu yang dimakan anak presiden, Kaesang dan Erina Gudono di tengah nepotisme keluarga istana yang membuat mahasiswa harus berdarah-darah dan mendapatkan kekerasan polisi, demi melawan nepotisme keluarga istana, untuk melawan elit DPR dan partai-partai yang lebih memilih melindungi keluarga istana daripada rakyatnya.

Mereka bukanlah anak muda yang bisa kemana-mana bisa naik private jet, tinggal minta pekerjaan sama bapak, dan bangga makan roti harga 400 ribu disaat ada orang antri untuk makan, di saat ada anak perempuan yang harus aborsi karena mendapat kekerasan seksual, dan negara tak becus mengurusnya. Mereka juga bukan orang yang bisa sekolah di luar negeri, foto sana-sini, di saat orang lain turun ke jalan membela rakyat tertindas.

Lihat saja situasi di depan DPR RI Jakarta pada 22 Agustus 2024 lalu. Mahasiswa-mahasiswi, para perempuan yang secara organik, tanpa komando turun ke jalan karena jengah terhadap para elite merecoki konstitusi demi kepentingan mereka, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) November 2024 mendatang. 

Yang paling menggembirakan dari aksi kemarin adalah begitu banyaknya orang yang punya kesadaran. Kesadaran yang membius banyak orang, ketika orang-orang menganggap yang dilakukan Jokowi di Mahkamah Konstitusi (MK) dulu lewat si paman MK untuk Gibran, adalah normal-normal saja, yang kemudian membuat Gibran melenggang masuk istana. 

Baca juga: Tak Cuma Perempuan, Laki-laki Juga di Pusaran Manuver Politik Keluarga

Aksi di depan DPR telah menyadarkan banyak orang yang selama ini terbius, yang selama ini ngefans pada keluarga istana ini, untuk sadar bahwa yang dilakukan selama ini hanya demi melanggengkan tahta keluarga mereka.

Gerakan massa ini adalah wujud kemarahan bersama dari rakyat atas demokrasi Indonesia yang terus diacak-acak selama beberapa waktu terakhir. Bukan hanya tentang RUU Pilkada, berbagai persoalan lain akibat ulah penguasa menjadi pemantik rakyat hingga kini berbaur dalam aksi massa. Berbagai elemen masyarakat lintas-organisasi bersatu: kelompok buruh, mahasiswa, siswa sekolah, perempuan, rakyat miskin kota, aktivis, orang muda, dan banyak lainnya. 

Banyak sosok artis muda yang biasanya hanya bisa kita lihat di layar kaca, hadir di tengah aksi. Seperti Abdel Achrian, Bintang Emon, Gina S. Noer, Arie Kriting, hingga Reza Rahadian. Bukan hanya mampir, mereka juga berorasi di atas mobil komando. Mereka menyuarakan keresahan rakyat Indonesia atas kondisi negara saat ini.

Ada Ernest Prakasa yang juga mengkritik para influencer secara online.

Siapakah para influencer ini? Konde.co mencatat, mereka adalah para selebritis yang diajak ke IKN, yang diajak jalan-jalan melihat ‘pembangunan dan serba-serbi kemajuan’. 

Kehadiran para artis muda di tengah aksi ini menjadi satu tanda bahwa kondisi di Indonesia saat ini meresahkan banyak pihak, lintas lapisan masyarakat. 

Tak hanya aksi langsung, banyak selebritas muda lainnya yang menyuarakan keresahan melalui media sosial, disertai dengan tagar ‘Peringatan Darurat’ dan ‘#KawalPutusanMK’. Mulai dari musisi, aktor, komika, sutradara, hingga influencer media sosial.

Beberapa artis lainnya contohnya Eva Celia, Isyana Sarasvati, Ananda Badudu, Nadin Amizah, Baskara Putra (Hindia), serta Fathia Izzati dari Reality Club. Mereka menyuarakan kemarahan dan kekhawatiran atas nasib Indonesia lewat berbagai cara. 

Baca juga: Maju di Pilkada Aceh, Perempuan Diprotes di Medsos; Padahal Ini Hak Jadi Pemimpin

Sejak tanggal 22 Agustus dan seterusnya, misalnya, para musisi tampil di konser maupun festival musik dengan memasang poster digital Garuda biru dengan tagar ‘Peringatan Darurat’ di panggung. Keresahan dan kemuakan atas rezim ini adalah pengalaman bersama dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya rakyat marjinal.

Di sisi lain, tidak sedikit juga influencer dan artis muda populer lainnya yang malah mendukung rezim penindas. 

Istilah ‘influencer’ digunakan sebagai tanda bahwa seseorang memiliki pengaruh yang besar terhadap orang lain, dalam hal ini pengikut atau penggemarnya. Entah apa yang dijanjikan kepada mereka untuk kemudian berada di pihak penguasa alih-alih menggunakan pengaruhnya untuk membela kepentingan rakyat. 

Lihat saja Raffi Ahmad, dengan followers-nya di media sosial yang setara dengan setengah lebih dari total penduduk Pulau Jawa. Ia justru membangun narasi-narasi yang jauh dari keberpihakan kepada masyarakat, yang notabene ditindas oleh kerakusan para elite.

Raffi Ahmad bukan satu-satunya influencer muda yang mengekor rezim di tengah carut-marut demokrasi Indonesia. 

Akhir-akhir ini juga muncul ‘imbauan’ boikot sejumlah selebritas yang sudah diidentifikasi menjadi buzzer rezim dan tidak peduli terhadap ketimpangan dan penindasan atas rakyat. Padahal, rasanya para selebriti ini berpendidikan tinggi dan bisa hidup lebih dari berkecukupan—seharusnya tidak semata-mata menggunakan pengaruhnya untuk popularitas dan cuan. 

Selain itu, influencer dengan modal pengikut yang besar, bisa memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kepedulian antar sesama masyarakat. Tapi ya, itu gambaran idealnya, kan?

Politik Juga Milik Orang Muda, Banyak Cara Untuk Terlibat

Everything is political—segala hal dalam hidup itu politis. Hal yang akan kamu lakukan setelah bangun tidur, pilihan transportasi yang kamu gunakan untuk bepergian, menu makanan yang kamu santap di siang hari, teman yang mengobrol denganmu saat senggang—semua itu adalah urusan politik. 

Maka tidak tepat jika berpikiran bahwa politik hanya milik kalangan tertentu, apa lagi mengatakan bahwa isu politik bukan urusan orang muda.

Sejak awal para feminis mengkritik gagasan konvensional tentang politik. Pemikiran tradisional tentang politik yang hanya mengedepankan struktur, fungsi dan aktivitas dipandang terlalu sempit dan mengabaikan realitas pengalaman perempuan. 

Bagi feminis politik merupakan perwujudan hubungan kekuasaan (power relations). Dengan begitu politik sehari-hari adalah juga politik. Hal-hal yang disebut sebagai urusan publik dan urusan privat tidak dipandang sebagai dikotomi. Dan melihat keterhubungan antara politik formal dan informal serta mengkritik relasi kuasa yang timpang.

Mengacu pada Vicky Randall gagasan yang ditawarkan para feminis merupakan pandangan alternatif. Yakni politik sebagai suatu proses artikulasi, suatu upaya membangun hubungan dalam struktur kekuasaan yang sudah ada.

Dengan begitu, politik bukan hanya urusan pemerintah—partai politik, pemilu, pemilih dan kebijakan pemerintah—yang bersifat politis, melainkan juga politik kehidupan warga—keluarga, etnis, gender, disabilitas, seksualitas, pendidikan, kelas. dan sebagainya.

Singkatnya pemikiran feminis mengkritik definisi politik tradisional dan mengalihkan fokus dari politik yang berkaitan dengan peristiwa eksternal ke pertimbangan hubungan kekuasaan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Baca juga: Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin

Para feminis menyoroti partisipasi perempuan dalam politik publik dan dampak pembuatan kebijakan terhadap perempuan. Namun ini dipandang belum cukup karena itu feminis memperluas arena fokusnya mencakup politik seksual (sexual politics). Ini meliputi isu penolakan terhadap kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan politik kesehatan reproduksi dan seksualitas.

Dengan perluasan interpretasi feminis yang mencakup politik seksual dan penekanan pada ‘the personal as political‘, kita melihat penilaian yang berbeda terhadap partisipasi politik perempuan.

Persoalannya tidak berhenti pada cara artis berpartisipasi di tengah demokrasi yang dicabik-cabik. Secara umum, kita juga bisa melihat cara orang muda bereaksi atas situasi negara ini.

Begitu banyak orang muda yang muak dengan akal-akalan rezim dan bersuara di media sosial. Mereka menyuarakan protes di media sosial, serta mengunggah karya seni seperti gambar dan puisi tentang matinya demokrasi di Indonesia. 

Para orang muda ini juga bergabung dengan massa aksi—dari mahasiswa sampai buruh agensi—berorasi di mobil komando, membawa poster-poster kritis dan ‘kekinian’, hingga mengalami brutalitas aparat yang terus-menerus terjadi dalam demonstrasi sebab pemerintah kita gemar melanggengkan kekerasan.

Demonstrasi memang bukan satu-satunya cara untuk mengekspresikan diri, apa lagi di tengah carut marut perpolitikan nasional. Berbagai cara dilakukan komunitas maupun individu muda di Indonesia untuk bersuara. Kampanye di media sosial salah satunya. Di tahun 2019, kita kenal tagar ‘#ReformasiDikorupsi’. 

Baca juga: Putusan MK Jadi Peluang Gibran Maju Pilpres 2024, Jokowi Disebut Mirip Suharto?

Tahun ini, tagar yang dinaikkan adalah ‘#KawalPutusanMK’, terkait keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada. Tagar itu juga dibarengi oleh visualisasi burung garuda berlatar biru dengan tulisan ‘Peringatan Darurat’. Kampanye media sosial punya pengaruh tak terduga. Ketika bertengger di daftar trending topic, minimal ia membantu meningkatkan kesadaran masyarakat pengguna internet bahwa kondisi negara sedang tidak baik-baik saja.

Jauh sebelum sosial media marak digunakan untuk menyalurkan aspirasi, pegiat seni tanah air menggunakan musik, puisi, hingga novel untuk mengkritik dan meluapkan amarah terhadap penguasa. Salah satunya yang tidak asing bagi kita adalah Wiji Thukul. Ia adalah seorang penyair sekaligus aktivis yang karya-karyanya menjadi ancaman bagi para elit Orde Baru. Puisi-puisi Wiji Thukul yang kritis dan vokal membuatnya diburu dan dihilangkan paksa oleh rezim hingga saat ini.

Dari dunia musik, para musisi muda pada masanya seperti Bimbo, Koes Plus, hingga Iwan Fals yang giat mengkritik pemerintah lewat lagu-lagu mereka. Di tahun 1984, Iwan Fals bahkan pernah dicekal dan sempat ditahan polisi. Sebabnya lagu berjudul Demokrasi Nasi dan Mbak Tini yang berbau sindiran terhadap pemerintah Orde Baru kala itu.

Sekarang, kita punya musisi muda seperti Efek Rumah Kaca (ERK), Feast, Oscar Lolang, Rara Sekar, Isyana, dan Barasuara yang lewat lagu-lagunya kerap berefleksi dan mengkritik situasi Indonesia. Pun, pada LaLaLa Festival 2024 yang berlangsung bertepatan dengan rangkaian aksi #KawalPutusanMK, banyak musisi yang menyerukan ‘Peringatan Darurat’ sepanjang penampilan mereka. Hal ini menjadi simbol resistensi terhadap rezim yang zalim terhadap masyarakatnya. Resistensi itu hadir dalam kesenian yang digandrungi orang muda.

Orang Muda Harus Gimana?

“Malas, negara baik-baik saja kok, ngapain demo? Gue sibuk, nggak punya waktu untuk politik.”

Mungkin kita juga pernah melihat selentingan kalimat seperti itu dari orang muda di media sosial beberapa waktu terakhir. Terutama ketika marak terjadi aksi demonstrasi di banyak kota di Indonesia. 

Soal kesibukan, hanya diri sendiri yang tahu—meski rasanya tidak bisa selalu jadi alasan. Sebab apakah seorang Reza Rahadian menganggur sampai bisa ikut demonstrasi dan Aksi Kamisan seharian penuh?

Tapi kita sebagai orang muda juga mesti menyadari privilese yang dimiliki. Kebanyakan orang muda saat ini sudah lebih mudah mengakses informasi. Melalui sarana sekolah, kampus, atau secara mandiri melalui media sosial serta kanal media lainnya. Pun, keterlibatan anak muda dalam persoalan sosial-politik saat ini sudah begitu lumrah. 

Banyak inisiatif kampanye maupun demonstrasi justru datang dari orang muda—mahasiswa dan komunitas. Aksi Kamisan di luar Jakarta, sebagian besar diinisiasi oleh mahasiswa. Pentas seni yang kritis terhadap pemerintah, dicetuskan oleh komunitas orang muda.

Mungkin sebagian orang muda yang masih enggan turut andil dalam menegakkan demokrasi, masih dalam proses menyelami realita. Mungkin. Tapi pada akhirnya, di tengah kondisi negara yang berantakan, orang muda perlu memilih. Mau bergerak dan peduli atas demokrasi yang juga menentukan nasib kita sendiri, atau apatis bahkan mendukung pemerintah yang selama ini lebih sering merenggut hak kita sebagai rakyat?

Baca juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Gerakan #KawalPutusanMK bisa jadi titik mulai bagi kita yang baru ikut turut serta, entah dalam bentuk aksi jalanan maupun di media sosial. Tapi, jangan berhenti disitu saja. Demonstrasi yang baru-baru ini terjadi hanya salah satu bentuk reaksi atas permasalahan yang ada. Penting bagi kita untuk mulai mengorganisir diri dan memupuk solidaritas antar-sesama.

Kita bisa belajar dari para feminis yang lewat gagasan dan aktivitas politik perempuan menghasilkan perspektif baru tentang politik. Dengan menyatukan kritik feminis terhadap politik dengan contoh-contoh keterlibatan praktis dalam kelompok, gerakan, dan masyarakat, para feminis secara aktif campur tangan untuk menciptakan perubahan.

Sama halnya dengan Karl Marx yang pernah bilang bahwa, “Para filsuf sejauh ini hanya menafsirkan dunia, intinya adalah mengubahnya,” bagi para feminis, praxis, keyakinan dalam menyatukan teori dan praktik melalui tindakan, memiliki arti penting. 

Singkatnya, feminisme melibatkan pemikiran tentang penindasan dan subordinasi perempuan serta cara-cara menciptakan perubahan—secara individu, kolektif, dan khusus.

Melihat politik dominasi dan perlawanan lewat lensa analisis feminis membantu kita memperluas pemeriksaan atas analisis dan aktivisme politik. Dengan memikirkan berbagai hubungan kekuasaan, kita bisa mengenali oposisi biner dan melihat kontekstualisasinya dalam sistem kekuasaan yang menindas individu dan kelompok. 

Baca juga: Memanggil Para Perempuan Geruduk Istana di IWD 2024: Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!

Gagasan biner ini berkisar dari isu seksisme laki-laki/perempuan, rasisme kulit putih/berwarna, heteroseksual/homoseksual hingga nondisabilitas/disabilitas dan seterusnya. Dikotomi dan hierarki semacam ini dan politik kekuasaan di dalamnya dikritik para feminis. Karena itu perjuangan politik feminis juga melampaui gagasan-gagasan biner tersebut.

Politik ‘baru’ dari para feminis juga memberi penekanan pada keterlibatan akar rumput melawan cara-cara kerja yang elitis, hierarkis, dan birokratis.

Rezim yang ditunggangi oligarki haus kekuasaan itu gemar menindas masyarakat. Kita sebagai masyarakat lintas lapisan, termasuk orang muda, perlu memahami bahwa kesewenang-wenangan pemerintah berdampak pada seluruh masyarakat. 

Siapa pun kita—siswa sekolah, mahasiswa, pegawai kantoran, buruh pabrik, buruh agensi, warga kota, warga desa—semua bisa kena. Jadi, kita pilih diam atau bergerak memperjuangkan hak-hak rakyat?

(Editor: Anita Dhewy dan Luviana Ariyanti)

(Foto: Konde.co, Grid.id, Viva, Radar Kudus)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
1
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Bagaimana Kamu Harus Jadi Anak Muda Di Masa Roti Harga 400 Ribu dan Nepotisme Keluarga Istana?

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us