Jadi Pengacara Korban KS, Meila Nurul Malah Jadi Tersangka: Dugaan Kasus IM

jadi-pengacara-korban-ks,-meila-nurul-malah-jadi-tersangka:-dugaan-kasus-im

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para korban kekerasan seksual.

Polda DIY menetapkan pendamping hukum korban IM, Meila Nurul Fajriah, sebagai tersangka tindak pidana pencemaran nama baik. Penetapan status ini berlaku sejak 24 Juni 2024 atas laporan IM, terduga pelaku kekerasan seksual terhadap 30 orang mahasiswi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.

Dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan IM berlangsung dalam rentang antara 2016-2020. Pada 2020 sejumlah korban bersuara (speak up) dan membuat pengaduan ke beberapa kanal seperti LBH Yogyakarta, UII Bergerak dan individu. Diantara korban ada yang mengadu ke LBH Yogyakarta dan didampingi Meila yang saat itu menjadi pengacara publik di lembaga tersebut.

Penetapan status tersangka terhadap Meila yang merupakan pengacara pendamping korban kekerasan seksual dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM. Sebanyak 122 organisasi masyarakat sipil mengecam penetapan Meila sebagai tersangka dalam konferensi pers yang digelar Kamis (25/7/24) di kantor YLBHI.

Direktur Kalyanamitra, Ika Agustina yang mewakili Koalisi mengatakan kriminalisasi terhadap advokat pendamping korban kekerasan seksual adalah bentuk pelemahan komitmen penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Ika menegaskan kriminalisasi ini merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual. Tindakan ini mencederai hak imunitas yang dimiliki oleh advokat pemberi bantuan hukum dan pendamping korban sesuai dengan UU yang berlaku.

Baca juga: Terbukti Bersalah Mantan Ketua BEM UI Melki Sedek Masih Cari Panggung

“Kami mendesak Kapolri untuk mengevaluasi Kapolda DIY serta meminta Kapolda DIY menghentikan proses kriminalisasi terhadap Meila. Kami juga meminta Kompolnas, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk mengawasi dan mengevaluasi proses ini secara menyeluruh,” kata Ika dalam konferensi pers.

Ia menambahkan kriminalisasi ini adalah langkah mundur melindungi korban kekerasan seksual dan komitmen untuk melawan segala bentuk kekerasan seksual.

“Kami mendesak Kapolda DIY untuk menghentikan proses hukum terhadap Meila Nurul Fajriah. Kami bersama Meila, kami bersama korban dan kami melawan segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia,” pungkasnya.

Awal Mula Kasus

Kasus ini bermula ketika seorang korban bersuara (speak up) melalui media sosial atas kekerasan seksual yang dilakukan IM. Keberanian korban tersebut mendorong korban-korban lain untuk ikut bersuara.

Pada 29 April 2020, Fasya Teixeira melalui akun Instagram pribadinya memosting cerita sahabatnya yang menjadi korban pelecehan seksual oleh IM. Fasya memosting cerita tersebut serelah mendapatkan izin dari sahabatnya.

Postingan itu menjadi viral. Dalam beberapa jam setelah diunggah, warganet banyak yang memberikan komentar. Baik itu melalui kolom komentar yang bersifat publik maupun melalui pesan langsung secara privat (direct message/DM).

“Mereka bilang, ‘Terima kasih mbak sudah speak up.’ Karena sebetulnya sudah banyak yang tahu tentang cerita ini. Ini merupakan ‘public secret’ gitu. Banyak yang tahu bahwa IM ini terkenal seperti itu. Cuma nggak banyak yang berani cerita karena image-nya yang dikenal sebagai orang yang terlihat islami,” tutur Fasya, Kamis (25/7/24).

Hingga beberapa minggu postingan Fasya masih tetap viral. Ia juga menerima DM dari para perempuan yang mengatakan kalau mereka adalah penyintas atau korban dari IM. Mereka menceritakan pengalaman mereka dengan cukup panjang dan beberapa mengirimkan screenshot bukti kekerasan seksual yang dilakukan IM.

“Sepertinya sih awalnya mereka hanya ingin curhat. Cuma kemudian saya menanyakan apakah mbak-mbak ini ingin supaya saya melanjutkan aduan ini ke LBH atau seperti apa?” lanjut Fasya.

Beberapa dari korban yang bercerita minta kepada Fasya untuk melanjutkan kasus mereka sebagai aduan resmi ke LBH Yogyakarta. Jadi atas izin para korban Fasya melanjutkan aduan ke LBH Yogyakarta. Data yang ada pada Fasya kemudian diintegrasikan dengan data LBH Yogyakarta dan UII Bergerak.

Baca juga: Dugaan Kekerasan Seksual SM, Pendiri Kelas Isolasi, Korban Diajak Pacaran Hingga Hubungan Seksual

Sebelumnya LBH Yogyakarta menerima pengaduan dari penyintas sejak 17 April 2020. Lani (bukan nama sebenarnya) bercerita dengan temannya bahwa dirinya menjadi korban pelecehan seksual oleh IM. Dari situ beberapa penyintas lain mulai memberikan pengaduan ke LBH Yogyakarta.

Pada 28 April 2020, pengaduan terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan IM bertambah menjadi 3 pengadu. Akhir april 2020, beberapa teman dari penyintas mulai memberanikan diri untuk bersuara di media sosial. Dari sinilah kemudian satu persatu pengaduan dengan pelaku yang sama berdatangan ke LBH Yogyakarta.

“Kala itu kami menerima pengaduan tidak hanya dari korban langsung tetapi dari beberapa pos pengaduan yang dibuka. Bahkan ada korban yang sudah melaporkan di salah satu lembaga kampus kemudian melaporkan lagi ke LBH Jogja,” papar Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia dalam konferensi pers.

Dari proses penanganan kasus yang dilakukan, LBH Yogyakarta kemudian menggelar konferensi pers tentang update penanganan kasus. Konferensi pers digelar melalui zoom dan You Tube LBH Yogyakarta pada 4 Mei 2020. Dalam konferensi pers tersebut Meila bersama Julian dan Linda Dwi Rahayu mengungkapkan kekerasan seksual yang diduga dilakukan IM.

Tayangan tersebut dipersoalkan IM dan menjadi dasar untuk melaporkan Meila dan staf LBH Yogyakarta ke Polda DIY pada Oktober 2020.

“Waktu itu yang dilaporkan adalah saudara Meila, kemudian saudara Linda Dwi Rahayu dan saya yang melakukan konferensi pers,” ungkap Julian.

IM melaporkan Meila dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE atau dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik. IM keberatan karena Meila menyebutkan nama lengkap IM dalam konferensi pers tersebut.

Baca juga: Mau Spill Pelaku Kekerasan Seksual di Media Sosial? Perhatikan “Rambu-Rambu” Berikut!

Julian menjelaskan tuntutan korban saat itu adalah meminta semua pihak untuk tidak memberikan ruang kepada pelaku.

“Memang tuntutan korban agar (semua pihak) tidak memberikan ruang publik kepada pelaku karena banyak sekali korbannya. Dan kami menyebut nama (pelaku) itu untuk tidak memberikan ruang kepada pelaku,” beber Julian.

Ketika kasus ini bergulir muncul inisiatif untuk membuka kanal atau pos pengaduan. Selain LBH Yogyakarta, beberapa lembaga juga membuka kanal pengaduan seperti dilakukan UII Bergerak. Upaya yang dilakukan UII Bergerak ini membuat mereka menghadapi intimidasi dan ancaman.

“Saya banyak ditelepon nomor-nomor yang tidak dikenal dan kemudian mengintimidasi. Kemudian juga di whatsapp hotline. Jadi ada tiga simpul, whatsapp saya pribadi, whatsapp hotline, kemudian nomor telepon biasa,” ujarnya.

Selain UII Bergerak, kampus UII juga membuka pengaduan lewat lembaga resmi seperti LKBH UII dan lembaga internal UII.

Hampir 4 tahun setelah IM melaporkan Meila, Polda DIY akhirnya menetapkan Meila sebagai tersangka pada 24 Juni 2024.

Belum Ada Laporan ke Polisi Bukan Berarti Tidak Ada Peristiwa Kekerasan Seksual

Setelah laporan IM, Polda DIY menanyakan kepada Meila/LBH Yogyakarta soal ada atau tidaknya korban IM. Ketika itu LBH Yogyakarta sudah menjelaskan bahwa korban memang ada.

Julian mengungkapkan Polda DIY meminta data korban sebanyak tiga kali. Namun mereka tidak bisa memberikan identitas korban tanpa persetujuan korban. Selain itu LBH Yogyakarta juga mempertimbangkan prinsip kerahasiaan data korban.

“Kami sudah menjawab itu dan itu sudah lama. Kami jawab itu ada. Tapi kalau misalnya diminta identitas, maka kami tidak bisa serta-merta memberikan karena harus menjaga kerahasiaan data korban,” papar Julian.

“Jadi sampai detik ini kalau misalnya ditanya apakah data itu sudah sampai di Polda DIY? jawabannya belum. Tiga kali Polda DIY meminta. Kami belum menyerahkan karena prinsip kerahasiaan data-data korban ini kami jaga. Dan selama belum ada persetujuan korban, kami enggak akan berikan,” tegasnya.

Julian menambahkan tindakan dan pernyataan yang dikeluarkan Meila dalam konferensi pers yang disiarkan lewat YouTube tersebut bukan tindakan pribadi. Sebaliknya yang disampaikan Meila merupakan keputusan lembaga dan ketika itu posisi Meila sebagai tim penanggung jawab kasus. Saat itu Meila juga tidak sendiri, ada tim LBH Yogyakarta dalam konferensi pers tersebut.

“Saudara Meila sudah menyampaikan bahwa dia hanya membacakan surat siaran pers yang dikeluarkan oleh LBH Yogyakarta. Artinya, penetapan tersangka oleh Polda DIY terhadap saudara Meila bukan serangan terhadap Meila pribadi melainkan terhadap kami sebagai lembaga yang concern dalam isu-isu pendampingan hak-hak perempuan,” ujarnya.

“Ini juga merupakan serangan terhadap pembela hak asasi manusia wanita yang memberikan perlindungan kepada korban,” tegas Julian.

Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta (YPJ), Ika Ayu mengungkapkan kriminalisasi dan penetapan Meila sebagai tersangka menunjukkan bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan dinihilkan. Pelaporan yang dilakukan IM terhadap pendamping dengan asumsi tidak ada korban yang melapor menunjukkan pencederaan terhadap pengalaman korban.

Baca juga: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?

“Ini artinya pengalaman korban ditiadakan karena negara menganggap kekerasan seksual itu hanya akan menjadi kekerasan seksual ketika kasusnya dilaporkan. Jadi yang terjadi saat ini adalah preseden buruk terhadap upaya-upaya penghapusan kekerasan seksual,” tegas Ika Ayu.

Ini memperlihatkan ada logika yang salah di kalangan aparat penegak hukum. Kasus Meila membuktikan hal tersebut.

Ika Ayu menambahkan dalam realitasnya tidak semua korban mau dan berkehendak untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Korban yang melapor pun tidak ada jaminan kasusnya bisa selesai. Pada kasus Meila hingga hari ini yang kita dapati bukan korban yang mendapatkan akses keadilan justru pendamping yang dikriminalisasi.

Mengacu pada UU TPKS, Ika menyebutkan ada 10 jenis pendamping bagi korban. Selain pendamping hukum dan advokat ada juga pendamping masyarakat. Kalau kasus Meila dilanjutkan dan tidak dihentikan, artinya ancaman berikutnya akan menyasar teman-teman pendamping hukum yang lain. Apalagi pendamping berbasis masyarakat yang selama ini lebih banyak menangani kasus yang kebanyakan ketika dilaporkan tidak ada penyelesaiannya.

Sementara tim pencari fakta yang dibentuk Universitas Islam Indonesia sudah mengumpulkan keterangan dari para penyintas dan juga tim pendamping psikologis. Pencarian fakta tersebut menghasilkan temuan adanya 11 korban pelecehan seksual IM. Ini lantaran tidak semua korban mau menyampaikan kesaksiannya karena trauma, malu, takut atau cemas bahkan hingga stres.

Testimoni korban juga terdapat dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta No 17/G/2020/PTUN.YK. Putusan ini keluar setelah IM mengugat Rektor UII yang mencabut Penghargaan Mahasiswa Berprestasi Utama UII tahun 2015, atas nama dirinya.

Pemeriksaan yang dilakukan Tim Pendampingan dan Advokasi menghasilkan empat korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan IM. Dari empat korban tersebut tiga diantaranya bersedia memberikan keterangan tertulis dalam bentuk berita acara.

Baca juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas

Korban 2, pada 2017, saat yang bersangkutan kuliah di UII semester 3, menyatakan pernah berkomunikasi dengan IM melalui video call. IM mengarahkan tema pembicaraan menjurus pembahasan hubungan intim suami istri.

Saat melakukan video call IM juga meminta Korban 2 untuk melepas niqab yang sedang dikenakannya. Karena merasa tidak nyaman seketika itu korban 2 memutus video call dengan IM. Akibat dari kekerasan seksual yang diduga dilakukan IM tersebut, Korban 2 mengalami kecemasan dan ketakutan.

Korban 3 mengaku pernah mengalami kekerasan seksual secara fisik beberapa kali oleh IM pada 2016. Korban 3 menyatakan mengalami gangguan psikologis, merasa sangat bersalah, merasa hina, merasa benci dengan diri sendiri, merasa kehilangan harga diri, merasa tidak berharga.

Bahkan Korban 3 mengaku pernah terpikir untuk bunuh diri, dan suicidal-thoughts sering kumat, dan stres bersifat intens hampir setiap hari. Pada Februari 2020 korban 3 didiagnosis mengalami MADD (Mixed Anxiety and Depressive Disorder) dan masih mengalami mimpi buruk tentang IM. Dokter juga mendiagnosis ada gejala PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) sampai membutuhkan terapi psikologis maupun psikiatris.

Korban 4 mengaku pernah mengalami kekerasan seksual oleh IM melalui video call pada April 2020 sekitar pukul 23: 00 WIB. Saat video call tersebut IM minta korban 4 menjadi fantasi seksualnya.

Rektor UII mencabut penghargaan mahasiswa berprestasi dari IM pada 12 Mei 2020 berdasarkan hasil investigasi Tim Pendampingan dan Advokasi. Tim tersebut sudah mengumpulkan informasi, keterangan dari para korban dan pendamping psikologis kekerasan seksual yang diduga dilakukan IM. Proses ini menghasilkan informasi mengenai kebenaran atas dugaan kekerasan seksual yang dilakukan IM.

Foto: Anita Dhewy/Konde.co

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Jadi Pengacara Korban KS, Meila Nurul Malah Jadi Tersangka: Dugaan Kasus IM

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us