Sakit Saat Hamil dan Melahirkan: Ini Nyata, Saatnya Kita Bicarakan Secara Jujur

sakit-saat-hamil-dan-melahirkan:-ini-nyata,-saatnya-kita-bicarakan-secara-jujur

“Mual-mual itu biasa, namanya juga hamil.”

“Jangan dibiasakan manja dan malas-malasan kalau lagi hamil nanti kebawa sama anaknya.”

Kalimat-kalimat semacam ini kerap muncul sebagai “nasihat” pada perempuan yang sedang hamil atau menghadapi kelahiran saat menceritakan kondisinya. Mungkin kamu juga pernah mendengarnya. Bagi perempuan, proses kehamilan dan melahirkan kerap diselimuti mitos, stigma, dan realitas yang berbenturan. 

Selama sembilan bulan, tubuh perempuan mengalami perubahan yang luar biasa, disertai berbagai gejala yang kadang-kadang tidak bisa dijelaskan dengan memadai. Mengandalkan cerita dari mulut ke mulut, perempuan banyak menjalani masa kehamilan dan melahirkan dengan kebingungan. Sayangnya, banyak informasi penting yang sering kali tidak tersedia atau hanya diberikan secara terbatas oleh tenaga medis.

Baca Juga: Pernikahan Tak Bisa Jadi Solusi Atasi Kehamilan yang Tak Direncanakan

Perempuan sejak kehamilan terus belajar dari informasi mana saja yang bisa diupayakan karena kenyataannya informasi detail untuk kondisi tertentu sangat terbatas. Tiga orang dokter kandungan yang kebetulan laki-laki, tidak menjelaskan banyak kepada saya seputar kehamilan saat periksa kandungan. 

Ibu-ibu lain yang bercerita kepada saya pun sebatas membagi pengalaman mereka saja tanpa penjelasan. Misalnya ketika kami membahas, kenapa kaki menjadi bengkak besar sekali saat hamil, jawabannya cuma: “Ya memang begitu”. Saya sendiri tidak diajarkan cara pernafasan atau mengejan untuk melahirkan.

Mungkin dari keterbatasan informasi inilah, muncul komentar dan perlakuan yang simpang siur tentang kehamilan dan melahirkan. Perasaan kesepian, keterasingan dan waswas tanpa informasi yang detail adalah hal yang saya rasakan jelang menunggu persalinan.

Tekanan Akibat Komentar yang Belum Tentu Benar

Kehamilan membawa tantangan fisik dan emosional bagi perempuan. Selama berbulan-bulan, tubuh mengalami perubahan besar yang sering kali disertai rasa sakit dan ketidaknyamanan. Mulai dari mual di trimester pertama, nyeri punggung, kaki bengkak, hingga sulit tidur yang membuat produktivitas terganggu. 

Rasa sakit ini tidak berhenti pada saat kehamilan saja, tetapi saat melahirkan dan pascamelahirkan juga. Selain fisik, perempuan juga mengalami tekanan mental saat masa-masa tersebut. Hal itu ditambah dengan stigma berupa kalimat atau perlakuan seperti ini:

“Kalau hamil itu jangan tidur-tiduran aja, nanti nggak bisa melahirkan ‘normal’!”

“Kok kamu minta izin kerja melulu sih, mual saat hamil kan hal biasa.”

“Jangan bilang melahirkan itu sakit! Harus bilang nikmat!”

“Perempuan yang melahirkan lewat operasi sesar itu belum bisa disebut sah sebagai ibu.”

Baca Juga: Riset: Suami di Perkotaan Lebih Aktif Dukung Kehamilan Istri Dibanding Suami di Pedesaan

Saya yang baru saja masuk kantor setelah cuti melahirkan bercerita bahwa pengalaman melahirkan saya luar biasa sakit. Lantas saya pun ditegur teman, “Jangan bilang melahirkan itu sakit, harus bilang nikmat! Udah diberi anak harus bersyukur. Nanti kalau bilang sakit, yang lain jadi takut melahirkan.”

Teman saya Nia, (24 tahun) harus bolak-balik ke kamar mandi kantor karena muntah saat hamil muda. Mual yang dialami Nia terbilang sangat parah, baru saja ia selesai muntah dan duduk sebentar, ia sudah ke kamar mandi lagi, dan muntah lagi. Ini adalah kehamilan kedua Nia. Pada saat hamil anak pertama, Nia tidak mengalami mual-mual.

Seorang teman berkata, “Kok aneh ya kamu, biasanya anak kedua itu lebih kuat dan lancar pas hamil.” Nia pun mengadu kepada saya bahwa jika bisa, ia tidak menginginkan hal ini terjadi. Saat mengobrol bersama teman-teman, Nia diberi “hiburan” bahwa kehamilan anak kedua itu gampang dan tak sesulit anak pertama. “Tenang saja, nanti pas melahirkan anak yang kedua nggak sakit lagi kok!” ujar mereka seakan-akan semua kondisi perempuan sama.

Komentar seperti ini tidak hanya mengabaikan pengalaman individual perempuan, tetapi juga memperkuat anggapan bahwa kesakitan adalah sesuatu yang harus diterima dan ditoleransi tanpa keluhan. Bahkan saking menganggap hamil dan melahirkan adalah hal yang “alami”, kondisi perempuan yang sangat lemah saat menjalaninya dianggap hal yang biasa dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Baca Juga: Hamil dan Tak Bisa Sekolah; Nasib Anak Perempuan Dalam Perkawinan Anak

Tiur (35 tahun) misalnya, bercerita saat kehamilan anak pertamanya, ia mengalami mual parah. Ia tidak bisa makan dan tubuhnya sangat lemas. “Aku bolak-balik masuk IGD dan izin kerja. Teman yang gantikan aku kerja bilang kok izin terus sih. Tenagaku habis karena tidak ada nutrisi yang masuk ke tubuh. Satu-satunya yang bisa kumakan cuma permen selama berhari-hari. Orang-orang paksa aku makan sampai bikin stres,” kenangnya.

Berdasarkan studi dari University of Cambridge, hingga saat ini, penyebab mual saat hamil sama sekali tidak diketahui. Ada beberapa terapi untuk mengobati mual saat hamil dan setidaknya sebagian efektif. Namun ketidaktahuan yang meluas tentang gangguan ini ditambah dengan rasa takut menggunakan obat selama kehamilan menyebabkan banyak perempuan dengan kondisi ini tidak mendapatkan pengobatan yang memadai.

Selain komentar dan perlakuan negatif, perempuan hamil juga diharuskan mengikuti serangkaian acara untuk mendoakan agar persalinannya lancar. Sebenarnya acara ini baik, tetapi seakan ada kewajiban untuk menggelar acara ini. Karena jika terjadi hal yang tidak diinginkan saat kehamilan atau persalinan, maka hal buruk itu akan dihubungkan dengan tidak digelarnya upacara tertentu. 

Hal yang menjadi beban adalah tidak semua perempuan mampu menggelar upacara tertentu saat kehamilan karena butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, jika tidak menyelenggarakan acara tersebut, maka pandangan negatif akan diterima terutama oleh ibu hamil.

Stop Penggunaan Diksi Melahirkan “Secara Normal”

Saya juga sering mendengar bahwa perempuan yang tidak melahirkan secara “normal” belum sah disebut ibu. Ini lantaran dia tidak merasakan “kesakitan” layaknya perempuan melahirkan. Penggunaan diksi “normal” saja sudah membeda-bedakan perempuan, seakan-akan melahirkan dengan metode lain adalah “tidak normal”. Klasifikasi antara “normal” dan “tidak normal” ini adalah bentuk pemikiran oposisi biner. Seperti dijelaskan penulis cum filsuf Hélène Cixous.

Dampak dari pemikiran “hitam putih” ini adalah adanya stigma atas salah satu sisi yang dianggap lebih inferior daripada lainnya. Misal, ibu melahirkan “normal” akan dianggap lebih baik daripada ibu sesar. Ibu yang memberi susu formula pada bayinya biasanya akan mendapat tudingan mementingkan diri sendiri, malas, egois dan lain sebagainya dibandingkan ibu yang memberikan ASI. Hal ini memberi beban besar kepada perempuan. Ketika mereka akan menghadapi persalinan, mereka dituntut juga untuk menjadi ibu sempurna dengan segala risiko dari kelahiran yang dianggap “normal”.

Baca Juga: Makan Siang Gratis untuk Ibu Hamil Itu Tokenisme, Salah Kaprah, Tak Selesaikan Masalah

Setiap orang memiliki kondisi medis dan toleransi rasa sakit yang berbeda-beda. Bagi mereka dengan keadaan ini, memilih persalinan sesar bukanlah hal yang memalukan, melainkan pilihan tepat untuk keselamatan ibu dan bayi. 

Stigma ini tak hanya melukai hati, tetapi juga mengaburkan realitas bahwa kehamilan memang bisa menimbulkan rasa sakit yang nyata.

Beberapa orang juga menjadikan perempuan yang berteriak kesakitan saat melahirkan sebagai lelucon. Seperti, “Waktu bikin anak diam-diam, tapi pas melahirkan teriak-teriak.” Lelucon sampah ini mestinya tidak dilontarkan pada ibu yang sedang bertaruh nyawa saat melahirkan. Jika memang ingin mengedukasi agar ibu tidak berteriak terlalu keras, gunakanlah alasan medisnya. 

Ada kondisi yang justru mengkhawatirkan saat perempuan menyembunyikan rasa sakit yang dialaminya untuk memenuhi “tuntutan” masyarakat. Kebungkaman ini, sayangnya, dapat membawa konsekuensi berbahaya. Perempuan yang tidak jujur tentang rasa sakit dan kondisi mereka, berisiko menunda pertolongan medis, yang pada akhirnya bisa mengancam jiwa ibu dan bayi.

Kesalahan Pandangan tentang Martirisme Pengorbanan Ibu

Ada pandangan umum bahwa kesakitan saat melahirkan adalah bentuk martirisme yang harus diterima oleh perempuan. Anggapan ini dapat membuat perempuan merasa harus menahan rasa sakit dan tidak mengungkapkan yang dirasakan sebenarnya. Sebagai hasilnya, banyak perempuan yang tidak jujur tentang trauma, kesakitan, dan kondisi sebenarnya yang dialami selama proses hamil sampai pascamelahirkan.

Anna Smajdor, profesor madya filsafat praktis di Universitas Oslo beranggapan perempuan di negara maju yang memilih untuk melahirkan “secara normal” sering dipuji. Ini menunjukkan bahwa pengalaman melahirkan tersebut entah bagaimana lebih terhormat daripada mereka yang memilih epidural atau intervensi medis lainnya. 

“Masyarakat kita sangat mementingkan pengorbanan ibu, dan semacam kemartiran yang menyertai menjadi seorang ibu. Ini adalah lambang kehormatan untuk menunjukkan bahwa Anda menderita, bahwa Anda mengorbankan diri Anda sebagai seorang ibu.”

Penderitaan ini bahkan dibenarkan sebagai mempersiapkan perempuan untuk pekerjaan mereka sebagai “ibu yang baik”. Memberikan semacam awal ilustratif untuk apa kehidupan keibuan mereka seharusnya:  kehidupan pengorbanan diri, penolakan terus-menerus dan beragam, dengan senang hati dilakukan demi kesejahteraan anak-anak mereka.

Baca Juga: Hamil atau Tak Hamil? Rahim Perempuan Tetap Milik Perempuan 

Esther Vivas dalam bukunya, Mamá desobediente. Una mirada feminista a la maternidad (Ibu yang Tidak Patuh. Perspektif Feminis tentang Keibuan), yang diterbitkan oleh Capitán Swing pada tahun 2019 menyebutkan dirinya menantang idealisme patriarki tentang ibu yang rela berkorban. 

“Ada konsepsi yang agak romantis dan diidealkan tentang keibuan. Menurut pandangan patriarki tradisional, hanya ada dua tipe ibu: ibu yang berbakti dan rela berkorban dan ibu yang buruk,” kata penulis, dalam sebuah wawancara dengan Equal Times.

Dengan kata lain, menormalisasi anggapan ibu “normal” dan ibu “tidak normal” dalam konteks kelahiran adalah bentuk lain kita melanggengkan patriarki. Ini tercermin dalam bentuk pemikiran oposisi biner. Mengakui dan membicarakan rasa sakit akan membuka ruang diskusi yang terbuka dan jujur tentang pengalaman hamil dan melahirkan. Lebih jauh ini akan mendorong kemajuan dalam dunia kedokteran.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Sakit Saat Hamil dan Melahirkan: Ini Nyata, Saatnya Kita Bicarakan Secara Jujur

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us