Kamus Feminis: Apa Itu Feminisme Interseksional? Pentingnya Perspektif Kelas dalam Membela Perempuan

kamus-feminis:-apa-itu-feminisme-interseksional?-pentingnya-perspektif-kelas-dalam-membela-perempuan

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Feminisme adalah gerakan untuk mencapai kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi.

Tapi apakah ini berarti semua perempuan mengalami penindasan yang sama? Tidakkah beberapa perempuan lebih tertindas dari yang lain karena lapisan identitasnya, di luar identitas gendernya sebagai perempuan?

Istilah ‘interseksionalitas’ dan ‘feminisme interseksional’ barangkali relevan dengan topik yang sedang hangat di Indonesia beberapa waktu terakhir. Publik menyerang sosok Erina Gudono, istri dari Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden RI Joko Widodo. Pasalnya, Erina kerap memamerkan gaya hidup mewah dan tone deaf dengan kondisi rakyat Indonesia yang muak dan bergejolak akibat manuver politik dinasti Jokowi.

Terungkap dari unggahan Erina di media sosial, ia terbang ke luar negeri dalam kondisi hamil menggunakan pesawat jet pribadi. Ia juga menyantap roti seharga 400 ribu Rupiah. Ini ironis, sebab banyak rakyat Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang membuat mereka susah untuk sekadar makan layak. Selain itu, kabar bahwa Erina memiliki bau badan tidak sedap juga menjadi bahan olok-olok.

Masih di tahun 2024, perhatian masyarakat Indonesia juga mengarah pada kasus korupsi tambang PT Timah yang melibatkan Harvey Moeis. Istrinya sekaligus selebritas Indonesia, Sandra Dewi, tak luput dari makian publik. Sebab Sandra Dewi diketahui hidup mewah dari berbagai produk bermerek yang digunakannya sehari-hari. Usut punya usut, uang tersebut ternyata merupakan hasil korupsi sang suami yang menyengsarakan rakyat selama bertahun-tahun.

Baca juga: Kamus Feminis: Sojourner Truth Melawan Perbudakan dan Penindasan Gender dan Ras

Beberapa orang memandang hujatan terhadap Erina Gudono dan Sandra Dewi misoginis. Mereka merasa bahwa warganet hipokrit dan mengabaikan prinsip ‘women support women (perempuan dukung perempuan)’ yang selama ini lekat dengan feminisme. Kemarahan dan olok-olok publik dianggap sebagai bentuk kebencian terhadap perempuan. Ada pula yang merasa bahwa warganet menyerang pribadi Erina dan Sandra Dewi secara berlebihan. Misalnya dengan menyinggung soal bau badan dan merek tas yang digunakan.

Patut-tidaknya ejekan tentang bau badan Erina dan tas bermerek Sandra Dewi bisa diperdebatkan. Namun yang jelas, feminisme sesungguhnya tidak berdiri semata-mata pada landasan ‘membela perempuan’. Sebab ketika ada kelompok perempuan yang lebih tertindas dibanding yang lain—yang, mungkin juga, perempuan ada dalam lingkaran penindasnya—lantas ‘semua’ perempuan perlu dibela dengan sama rata?

Nyatanya, diskriminasi terhadap perempuan tidak terjadi secara tunggal. Beberapa kelompok perempuan lebih teropresi dibanding yang lainnya. Sebaliknya, ada perempuan yang memiliki privilese lebih ketimbang yang lain. Bahkan, sesama perempuan bisa lebih berkuasa dan menghancurkan hidup perempuan yang lain, berdasarkan latar belakang yang mereka miliki. Itulah yang kemudian melahirkan ide tentang feminisme interseksional—gagasan bahwa feminisme adalah sesuatu yang kompleks dan berlapis, bukan sekadar tentang eksistensi seseorang sebagai perempuan.

Apa Itu Feminisme Interseksional?

Feminisme kerap identik dengan pemahamannya sebagai ‘gerakan perempuan’ secara umum. Namun, setidaknya menurut feminisme interseksional, ada lapisan-lapisan kondisi yang membuat beberapa perempuan lebih rentan dan tertindas dari perempuan lainnya. Ini berarti, suara mereka harus lebih didengar.

Dalam feminisme interseksional, ada pengakuan bahwa pengalaman perempuan tidak dapat dipisahkan dari berbagai bentuk identitas lain yang mereka miliki. Seperti ras, kelas sosial, orientasi seksual, agama, disabilitas, dan faktor lainnya. Pendekatan ini menekankan bahwa berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi seringkali saling terkait dan berkelindan. Alhasil, perempuan dengan identitas yang berbeda mungkin mengalami ketidakadilan dengan cara yang berbeda pula.

Konsep ini diperkenalkan oleh seorang ahli hukum dan feminis kulit hitam, Kimberlé Crenshaw, pada tahun 1989. Mengutip wawancara dengan Time, Crenshaw menjelaskan feminisme interseksional sebagai, “Prisma untuk melihat jalan ketika berbagai bentuk ketidaksetaraan kerap beroperasi bersama dan memperburuk satu sama lain.”

Penekanan Crenshaw adalah pada pemahaman, “Tidak semua ketimpangan diciptakan sama.” Tumpang tindih identitas sosial pada diri seseorang menciptakan pengalaman diskriminasi yang kompleks. Terutama bagi perempuan dan ragam gender lainnya.

Menurut Crenshaw, “Kita cenderung berbicara tentang ketidaksetaraan ras yang terpisah dari ketidaksetaraan berdasarkan gender, kelas, seksualitas, atau status imigran.” Namun, lanjutnya, “Yang sering kali terlewat adalah ketika sebagian orang mengalami semua ini (sekaligus). Dan pengalaman tersebut bukan hanya gabungan dari bagian-bagiannya.”

Baca juga: Kamus Feminis: Apa Itu Male Gaze? Objektifikasi Perempuan di Media untuk Penuhi Hasrat Laki-Laki

Crenshaw mengidentifikasi tiga aspek interseksionalitas yang memengaruhi visibilitas perempuan non-kulit putih, atau perempuan dengan ragam warna kulit. Pertama, interseksionalitas struktural yang membahas bagaimana perempuan non-kulit putih mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan dengan cara yang berbeda dari perempuan kulit putih. Lalu interseksionalitas politik, meneliti hukum dan kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesetaraan secara paradoks justru mengurangi visibilitas kekerasan terhadap perempuan non-kulit putih. Terakhir, interseksionalitas representasional menyelidiki penggambaran budaya pop tentang perempuan non-kulit putih dapat mengaburkan pengalaman hidup otentik mereka sendiri.

Bukan cuma Crenshaw yang bicara tentang interseksionalitas dalam feminisme. Sebetulnya, jauh sebelum istilah tersebut ia cetuskan, interseksionalitas juga disinggung oleh tokoh feminis ragam warna kulit sekaligus mantan budak, Sojourner Truth.

Dalam pidato fenomenalnya, ‘Ain’t I a Woman?’ ada dua poin yang digarisbawahi Truth. Pertama, orang-orang kerap lupa bahwa perempuan Afrika-Amerika juga adalah perempuan. Kedua, pengalaman para perempuan Afrika-Amerika yang diperbudak tentu berbeda dari para perempuan borjuis kulit putih. Salah satu pidato Truth memuat kata-kata yang paling tepat menggambarkan perjuangannya sebagai perempuan kulit hitam.

Children, who made your skin white? Was it not God? Who made mine Black? Was it not the same God? Am I to blame, therefore, because my skin is Black? …. Does not God love colored children as well as white children? And did not the same Savior die to save one as well as the other?

Baca juga: Kamus Feminis: Stop Mendikotomi ‘Perempuan Baik Versus Perempuan Buruk’

(“Anak-anak, siapa yang membuat kulitmu putih? Bukankah itu Tuhan? Siapa yang membuatku hitam? Bukankah itu Tuhan yang sama? Adakah salahku, kalau begitu, karena kulitku hitam? … Tidakkah Tuhan mencintai anak-anak dengan ragam warna kulit sebagaimana anak-anak kulit putih? Dan tidakkah Juru Selamat yang sama menyelamatkan salah satu sebagaimana yang lainnya?”)

Selain Crenshaw dan Truth, interseksionalitas menjadi landasan pemikiran tokoh feminis bell hooks. Menurutnya, interseksionalitas “menantang gagasan bahwa ‘gender’ adalah faktor utama yang menentukan nasib seorang perempuan”. Feminisme interseksional memang berangkat dari kritik para perempuan dengan ragam warna kulit, terhadap feminisme ‘kulit putih’ yang masih bias dan tidak mewakili penindasan spesifik yang mereka alami. Pada konteks yang lebih luas, interseksionalitas dalam feminisme juga mencakup kelas sosial, ekonomi, ras, orientasi seksual, dan sebagainya.

Wacana interseksionalitas dalam feminisme mulai teramplifikasi setelah Crenshaw mencetuskan istilah tersebut di tahun 1980-an, seiring dengan dimulainya feminisme gelombang ketiga. Gerakan di gelombang ini mencatat kurangnya perhatian pada ras, kelas, orientasi seksual, dan identitas gender dalam gerakan-gerakan feminis awal. Mereka pun mencoba menyediakan saluran untuk mengatasi kesenjangan politik dan sosial. Feminisme interseksional berpusat pada suara orang-orang yang mengalami berbagai bentuk penindasan yang tumpang-tindih. Pada kondisi tersebut, ketidaksetaraan mereka memiliki kedalaman yang berbeda-beda.

Kesadaran Kelas Dalam Feminisme: Perempuan Dukung Perempuan (Yang Tertindas)

Tentang Erina Gudono dan Sandra Dewi yang dihujat karena gaya hidup dan perilakunya adalah satu hal. Secara umum, hal ini tampak seperti perundungan yang buruk. Namun kadang, sesungguhnya masyarakat termarginalkan sedang mengekspresikan perasaan frustasi dan marah karena ketidakadilan. Toh, perlu diingat pula bahwa kedua perempuan ini berada dalam pusaran kekuasaan dan lingkaran kelas penindas.

Yang menyedihkan, tuduhan bahwa para perempuan yang dihujat ini ‘bodoh dan harus diberi pelajaran’ seakan terlalu ‘mudah’. Tidak menutup kemungkinan, mereka cerdas dan memahami isu sosial masyarakat. Namun kebutaan nurani dan empati membuat mereka mengabaikan opresi yang dialami perempuan dari kelas sosial-ekonomi yang berbeda.

Misalnya, ketika keluarga Sandra Dewi dan Harvey Moeis menjalani hidup yang lebih dari cukup dengan uang yang ternyata hasil korupsi PT Timah.  Di saat bersamaan, banyak perempuan di Bangka Belitung dan daerah tambang lainnya yang menjalani hidup begitu berat akibat eksploitasi lahan dan korupsi puluhan tahun. Tanah mereka dikeruk habis; lahan pekerjaan mereka lenyap; kesehatan fisik, reproduksi, dan mental mereka terancam akibat proyek tambang. Sedangkan uang dari pertambangan itu tak pernah betul-betul mereka nikmati. Pemiskinan perempuan dari masyarakat marginal justru makin memperkaya para pejabat dan pengusaha korup seperti Harvey Moeis dan keluarga.

Atau hujatan terhadap Erina Gudono dan keluarga Jokowi. Konon, caci-maki itu membuat Erina stres dengan kondisinya sebagai perempuan hamil. Tapi ada berapa banyak perempuan hamil di Indonesia yang tidak dapat mengakses hak-haknya akibat rezim pemerintah, tempat Erina berada di dalamnya? Banyak orang membandingkan kehidupan Erina—yang flexing menyantap roti seharga 400 ribu Rupiah—dengan para ibu yang setiap hari pusing memikirkan harga pangan pokok yang selalu naik. Juga banyak yang menyinggung fakta bahwa harga roti tersebut sama dengan gaji guru di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa, meski Erina perempuan, kehidupan yang dijalaninya timpang dengan kehidupan banyak perempuan lain di Indonesia.

Baca juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Feminisme interseksional sejatinya bicara masalah kelas. Meski sama-sama perempuan, ada kelompok perempuan yang tertindas dari berbagai arah dan merasa tidak terwakilkan oleh perempuan dari kelas atas yang bisa hidup mewah—lebih buruk lagi, hidup borjuis tersebut diperoleh dari kekerasan struktural terhadap masyarakat proletar.

Selain itu, feminisme interseksional membawa kita menguliti setiap lapisan identitas lain pada diri perempuan. Lapisan itu menentukan posisi Erina, Sandra, dan perempuan seperti mereka dalam tatanan masyarakat. Apakah ia dapat hadir dalam diskursus sebagai perempuan belaka, atau ia adalah perempuan dalam lingkaran penguasa dan turut melanggengkan penindasan terhadap perempuan lain?

Tujuan feminisme interseksional adalah memahami dan melawan berbagai bentuk penindasan yang saling berkelindan tersebut. Juga memastikan bahwa gerakan feminis jadi inklusif dan relevan bagi semua perempuan, tanpa memandang identitas mereka.

Baca juga: Kamus Feminis: Apa Itu Personal is Political? Betapa Politisnya Pilihan Perempuan

Penting untuk memahami bahwa perempuan mengalami penindasan secara beragam, tergantung pada berbagai aspek identitas mereka. Dengan mengakui interseksionalitas, feminisme dapat menangani berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang saling berkelindan. Selain itu, gerakan feminis harus mendengarkan pengalaman dan perspektif perempuan yang sering kali terpinggirkan. Seperti perempuan dengan ragam warna kulit, LGBTQ+, perempuan miskin, penyandang disabilitas, dan lainnya. Ini termasuk memberikan mereka ruang untuk berbicara dan berkontribusi dalam perumusan agenda feminis.

Feminisme tidak hanya berfokus pada isu gender, tetapi juga pada isu-isu lain yang memengaruhi kehidupan perempuan. Seperti kemiskinan, rasisme, homofobia, dan akses terhadap layanan kesehatan. Feminisme yang inklusif mengakui bahwa untuk mencapai kesetaraan gender, harus ada keadilan sosial di berbagai bidang kehidupan.

Ketika perempuan dari kelas sosial-ekonomi borjuis mengkhianati keadilan sosial tersebut, jangan-jangan kita belum bisa bicara feminisme ketika itu dimaksudkan untuk membela mereka. Sedangkan, ada perempuan dari kelas lain yang justru sedang berjuang dalam nama feminisme itu sendiri. Struktur sosial, ekonomi, dan politik sering kali mendukung dan memperkuat ketidaksetaraan gender.

Feminisme yang inklusif bekerja untuk mengkritisi dan mengubah struktur ini agar lebih adil dan setara bagi semua perempuan.

(Kami mengganti gambar ilustrasi dengan foto Erina Gudono dan Kaesang/ Sumber foto: Instagram)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Kamus Feminis: Apa Itu Feminisme Interseksional? Pentingnya Perspektif Kelas dalam Membela Perempuan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us