Oleh Syarif Maulana, Filsuf, Pengusaha Kuliner
What is Metaphysics? adalah judul teks yang disampaikan Heidegger pada kuliah perdananya di Universitas Freiburg tahun 1929. Heidegger memulainya dengan menyatakan, bahwa terdapat dua karakteristik dalam penyelidikan metafisika. Pertama, setiap pertanyaan tentang metafisika selalu melingkupi seluruh problem metafisika. Kedua, setiap pertanyaan tentang metafisika selalu ditanyakan bersamaan dengan kehadiran si penanya.
Apa maksudnya? Ketika kita menanyakan pertanyaan metafisik seperti “apa itu kesadaran?”, kita tidak sedang bertanya tentang kesadaran si X atau si Y, melainkan keseluruhan dari apa yang disebut sebagai kesadaran. Kemudian disinilah Heidegger menempatkan pentingnya posisi si penanya dalam pertanyaan hal ikhwal metafisika: harus ada yang menanyakan, si penanya yang eksis, yakni Dasein (sebutan Heidegger untuk manusia), yang berkepentingan menanyakan perkara metafisika tersebut.
Berangkat dari posisi penanya yang eksis tersebut, Heidegger masuk pada penjelasan tentang bagaimana sains memahami metafisika. Melalui sains, kita, si penanya yang eksis, dihubungkan dengan ada (beings/ Seiendes). Yang dimaksud dengan „ada“ dalam hal ini dapat ditarik penjelasannya pada pengantar penerjemah dalam Introduction to Metaphysics yang menyebutkan, bahwa „ada“ dapat mengacu pada segala bentuk entitas, fisik atau non-fisik, seperti kendaraan, gunung, orang Jepang, serangga dan fuga-nya Bach (IM, 2000: x). Sejarah filsafat Barat, lanjut Heidegger, terlalu fokus pada ke-ada-an (beingness/ Seiendheit) semacam ini, sehingga melupakan Ada (Being).
Pertanyaannya, bagaimana membedakan „ada“ (dengan huruf kecil) dan „Ada“ (dengan huruf kapital/ Being/ Das Sein)? Ada (Being) bukanlah sesuatu apapun. Ada (Being) dipahami sebagai peristiwa yang membuat ada (beings) dapat dipahami sebagai ada (beings). Sebagai ilustrasi, jika ada (beings) dicontohkan sebagai serangga, maka pertanyaan Heidegger, bagaimana serangga sebagai “sesuatu” dapat dipahami sebagai “sesuatu”? Itulah pertanyaan berkenaan dengan Ada (Being). Namun dalam teks ini, kita akan lebih banyak bergulat dengan ada (beings).
Kembali ke urusan sains. Dalam pandangan Heidegger, sains punya kekhasan dalam menyelidiki ada (beings) melalui kegiatan mempertanyakan, menentukan, dan membumikan, dalam rangka membuat ada (beings) menampakkan dirinya. Baik matematika maupun sejarah, dalam contoh Heidegger, sama-sama mengarahkan interogasinya pada ada (beings), tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Matematika bisa jadi mementingkan ketepatan. Sementara, sejarah lebih longgar, dalam artian, lebih menerima berbagai kemungkinan tafsir tentang narasi hidup manusia. Contoh-contoh tersebut menunjukkan, bagaimana sains menyelidiki ada (beings) dengan suatu cara yang spesifik.
Meski demikian, sains, lanjut Heidegger, tampak lebih sibuk mengarahkan eksaminasi pada urusan ada (beings), dan tidak sedikitpun berurusan pada yang tiada (nothing/ das Nichts). Singkatnya, sains tidak tahu apa-apa tentang yang tiada. Pertanyaannya, apa itu yang tiada? Adakah yang tiada itu? Jika memang ada yang dinamakan yang tiada, bagaimana cara kita mengetahui, mengaksesnya? Disinilah justru, menurut Heidegger, problemnya. Saat kita berupaya mengetahui yang tiada, kita memperlakukannya sebagai ada (beings), dengan mengartikan yang tiada adalah (is) ini atau itu.
Problem berikutnya, saat kita ingin mengetahui yang tiada, kita kerap berangkat dari ada (beings), dan kemudian menegasinya. Ini adalah cara berpikir dengan menggunakan perangkat logika. Dengan demikian, yang tiada adalah negasi dari segala yang ada, suatu non-ada. Bagi Heidegger, ini masihlah suatu problem, yang dengan demikian yang tiada dipahami sekadar negasi, sekadar kerja intelek yang bertolak dari ada (beings). Pertanyaannya, bisakah kita menjangkau yang tiada? Lebih persisnya: bisakah kita menjangkau yang tiada, tanpa perlu memikirkan atau berangkat dari ada (beings)? Tiadakah akses langsung terhadap yang tiada?
Sebelum membahas perkara keterhubungan terhadap yang tiada, Heidegger terlebih dahulu memformulasikan situasi keseharian yang membuat kita terakses langsung terhadap ada (beings) secara keseluruhan. Heidegger mengistilahkannya dengan suatu keadaan yang membuat kita “menemukan diri kita di tengah ada (beings) secara keseluruhan”. Bagi Heidegger, tak peduli seberapa terbagi-baginya kehidupan sehari-hari kita, akan selalu ada momen, ketika kita merasa berada di tengah ada (Being) secara keseluruhan.
Contohnya adalah kebosanan (boredom). Kebosanan ini bukan perkara disebabkan karena buku yang kita baca atau film yang kita tonton. Lebih daripada itu, kebosanan yang dimaksud adalah saat “seseorang merasa bosan”, suatu kebosanan yang mendalam, mengambang ke sana ke mari, menenggelamkan kita pada ketidakpedulian yang parah. Kebosanan semacam ini membuat ada (Being) terkuak secara keseluruhan. Selain itu, Heidegger mencontohkan perasaan gembira. Kegembiraan ini bukan berasal dari perasaan terikat pada sesuatu, misalnya, orang yang kita cintai atau barang yang baru kita beli. Kegembiraan yang dimaksud adalah kegembiraan yang menyeluruh, serta menjadikan perasaan kita begitu fundamental dan esensial, sehingga ada (beings) kemudian menyeruak tampil ke hadapan dengan cara yang lain.
Pertanyaannya, ada apa dengan “perasaan-perasaan” ini? Bukankah hal demikian adalah fenomena mental yang biasa saja terjadi dalam keseharian kita? Kelihatannya Heidegger mencoba mengajak kita untuk kembali pada keadaan sebelum atau di luar sains, ketika Dasein tak bersusah payah menarik ada (beings) sebagai objek penyelidikan, melainkan membiarkannya untuk tampil berdasarkan disposisi hati (Stimmung).
Disposisi hati membawa kita untuk menemukan diri berada di tengah keseluruhan ada (beings). Sekarang, bagaimana dengan yang tiada? Heidegger menunjuk satu perasaan yang khas yakni kecemasan (Angst) yang membuat kita dapat terhubung dengan yang tiada. Kecemasan ini tidak direduksi pada rasa takut, yang biasa berhubungan dengan ketakutan terhadap sesuatu, misalnya, takut akan laba-laba, takut menjadi miskin, atau takut gagal mendapat pekerjaan. Singkatnya, ketakutan memiliki objek yang menyebabkan rasa takut.
Sementara itu, kecemasan seringkali tak memiliki alasan. Kita bisa cemas entah oleh apa. Kita bisa cemas oleh yang tiada. Apa yang terjadi dalam kecemasan, menurut Heidegger, adalah tenggelamnya kita dan segala sesuatu pada ketakpedulian. Ada (beings) menjauh, mundur, dan kehilangan signifikansinya bagi kita. Biasanya dunia dan segala sesuatunya tampil sebagai keseluruhan yang berarti, tetapi dalam kecemasan, segalanya tergelincir, lepas dari genggaman Dasein.
Lantas, apa sejatinya yang tiada itu? Yang tiada, pada dasarnya, tidak membetot, melainkan menolak. Penolakan tersebut adalah sebentuk gestur perpisahan terhadap ada (beings) secara keseluruhan, yang menekan Dasein dalam kecemasan, tepat di jantung yang tiada yakni penihilan. Yang tiada memang menihilkan, tetapi penihilan ini tidak sama dengan pemusnahan (annihilation) atau penegasian (negation). Yang tiada, dalam penolakannya, sekaligus mengungkap ada (beings) dalam keanehannya, yang sama sekali berbeda. Heidegger mengilustrasikan, bahwa dalam suatu malam yang cerah, kecemasan membawa kita untuk menemukan kesejatian dari ada (beings), dengan menyadari bahwa mereka adalah ada (beings) dan bukannya yang tiada.
Apa maksud Heidegger mengatakan demikian? Untuk menyederhanakan, anggaplah seluruh ada (beings) kita sebut sebagai “jam”. Tanpa gagasan tentang yang tiada, kita hanya akan melihat “jam” tersebut sebagai “jam”. Kita tunduk dan terlibat padanya, karena meyakini bahwa “jam” tersebut adalah satu-satunya yang riil, dan memiliki makna. Namun tatkala Dasein mengalami kecemasan, “jam” tersebut ditolak, dinihilkan, diasingkan dari dunia, dan bahkan menjadi nirmakna. Namun, apakah itu artinya kecemasan telah membuat “jam” tersebut mengalami pemusnahan (tak ada lagi “jam”) atau penegasian (menjadi bukan “jam”)? Tidak seperti itu. Yang tiada, yang tampil melalui kecemasan, justru membuat “jam” menjadi terungkap, tampil secara original ke hadapan Dasein. Dasein berbeda dengan makhluk lainnya yang memahami “jam” sebagai “jam” dalam arti positif. Dasein memiliki akses terhadap yang tiada melalui kecemasan, sehingga terus menerus memiliki keheranan terhadap “jam”. Dalam keheranan tersebut, “jam” justru dilampaui oleh Dasein.
Hanya dengan pengungkapan asli atas yang tiada ini, lanjut Heidegger, Dasein dapat mendekati dan menembus ada (beings). Dalam melampaui ada (beings) ini, Dasein masuk pada suatu kondisi yang disebut Heidegger sebagai “transenden”. Kondisi bertransendensi ini memungkinkan Dasein untuk menemukan kedirian dan kebebasannya. Bagaimana hal demikian bisa terjadi? Proses Dasein dalam menjadi otentik bukan ditentukan oleh ada (beings), melainkan pergulatannya dengan kecemasan yang bertolak dari yang tiada. Dalam bentrokannya ini, Dasein dapat menyikapi kecemasan dengan membiarkan dirinya terlempar pada penihilan atau sebisa-bisa menegasinya, membuatnya menjadi melampaui ada (beings).
Berbeda dengan cara kerja intelek yang bertolak dari ada (beings) untuk kemudian dinegasi dalam menemukan yang tiada, Heidegger justru memulai segalanya dari yang tiada, dalam rangka membuat ada (beings) menjadi terbuka. Perlu diingat bahwa cara kerja yang tiada dalam menyingkap ada (beings) bukan dengan cara menegasinya, melainkan memang demikian bahwa secara esensial, yang tiada membuat tampakan ada (beings) menjadi mungkin. Justru penegasian, menurut Heidegger, juga hanya mungkin muncul dari yang tiada, dan tidak berlangsung sebaliknya (bahwa yang tiada muncul dari penegasian).
Jadi, jika kita kembali ke pertanyaan awal yakni, “apa itu metafisika?”, bagaimana Heidegger lewat penjelasannya tentang yang tiada kemudian dapat menjawab pertanyaan tersebut? Istilah “metafisika” berasal dari bahasa Yunani meta to physika, yang diartikan sebagai di balik atau melampaui apa yang ada (beings). Dalam pemahaman umum tentang metafisika, melalui kemampuan kita dalam menggenggam apa yang ada di balik ada (beings) itulah, kita bisa memahami keseluruhan tentang yang ada (beings).
Tentang yang tiada, Heidegger menuliskan istilah dari Parmenides, yaitu ex nihilo nihil fit yang diartikan “dari ketiadaan, tiada apapun yang akan menjadi”. Bagi Heidegger, pernyataan tersebut bermasalah, karena masih memposisikan yang tiada sebagai non-ada, negasi dari ada (beings), dengan membayangkan ikhwal tak berbentuk, yang suatu bentuk tak bisa mengambil tempat di dalamnya. Dengan demikian, penjelasan tentang yang tiada justru terjebak pada pemahaman tentang yang ada (beings). Bagi Heidegger, diskusi perkara metafisika ini menjadi mandeg, karena pembahasannya selalu pada seputar ada (beings).
Atas problem ini, Heidegger kemudian menawarkan istilah ex nihilo omne ens qua ens fit (dari ketiadaan, segala yang ada menjadi sebagai ada). Hanya dalam yang tiada, Dasein merengkuh yang ada (beings) secara keseluruhan, dengan segala kemungkinannya, untuk menampakkan pada kita. Sebagaimana telah disinggung, selama ini, hal tentang ada (beings), dipuaskan oleh sains dengan cara-cara sedemikian rupa, sehingga ada (beings) tampak dengan cara yang khas. Sains mengabaikan yang tiada sebagai hal yang tidak relevan dalam kerja-kerja penyingkapan ada (beings). Namun berdasarkan penyelidikan Heidegger tentang yang tiada, menjadi jelas, bahwa sains menjadi mungkin dalam melakukan eksaminasi terhadap ada (beings), dengan menyelenggarakan dirinya terlebih dahulu pada yang tiada.
Tanpa yang tiada, Heidegger melanjutkan, metafisika yang melandasi sains hanya akan masuk pada klasifikasi pengetahuan secara terpisah-pisah, tanpa mengingat tugasnya yang paling esensial, yakni untuk menyingkap segala yang tersembunyi dalam alam ataupun sejarah. Hanya karena yang tiada itulah, Dasein dapat mengalami keheranan penuh akan berbagai ada (beings) yang melingkupi kita, untuk menerbitkan pertanyaan “mengapa?”, yang sebagian jawabannya kita serahkan nasibnya pada para peneliti, dalam rangka menyelidiki ada (beings) dengan cara-cara saintifik.
Sekarang kita akan benar-benar masuk pada apa itu metafisika menurut Heidegger: metafisika selama ini menginterogasi segala sesuatu di balik apa yang tampak atau apa yang ada (beings). Hal demikian ditolak oleh Heidegger. Menurutnya metafisika berlangsung sebagai hal mendasar dari Dasein. Metafisika adalah Dasein itu sendiri, yang bermukim dalam landasan tanpa landasan (yang tiada), tempat segala kemungkinan tentang yang ada (beings) menampakkan dirinya. Dalam arti demikian, tak ada sains yang mampu menjangkaunya.
Disinilah kemudian Heidegger membela filsafat. Heidegger mengutip Platon dalam Phaedrus, yang menyebutkan, “Sudah alamiahnya begitu, temanku, pikiran manusia bermukim di dalam filsafat.” Sementara filsafat, bagi Heidegger, adalah tempat bermulanya metafisika, dalam melaksanakan tugasnya untuk menyelidiki kemungkinan terdalam dari Dasein, atas ufuk yang belum kita ketahui. Tugas tersebut dimulai dengan memberi ruang bagi ada (beings) secara keseluruhan, lalu membebaskan diri kita ke dalam yang tiada, untuk kemudian membawa kita mengayun kembali pada pertanyaan mendasar dari metafisika: “Mengapa hanya terdapat ada, alih-alih yang tiada?”
Sumber bacaan:
Heidegger, M., Fried, G. (Translator), & Polt, R. (Translator). (2000). Introduction to metaphysics. New Haven: Yale University Press.
Heidegger, M. (1929/1949). What is metaphysics? In W. Brock (Ed.), Existence and Being (R.F.C. Hull & A. Crick, Trans., pp. 325-349). Chicago: Henry Regnery.
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/