Manis di Bibir, Pahit di Ladang: Tantangan Petani Kakao Perempuan di Indonesia

manis-di-bibir,-pahit-di-ladang:-tantangan-petani-kakao-perempuan-di-indonesia

Industri kakao di Indonesia memiliki peran vital dalam perekonomian pedesaan. Terutama bagi petani kecil yang sangat bergantung pada hasil pertanian ini. Data BPS 2018 menunjukkan bahwa 97,29 persen perkebunan kakao dikelola oleh petani kecil. Perempuan berperan signifikan dalam proses pertanian mulai dari panen hingga pascapanen.

Kendati demikian, di beberapa wilayah norma gender masih membatasi peran perempuan dalam organisasi produsen kakao seperti kelompok tani dan koperasi. Mereka sering kali tidak mendapat akses penuh ke pelatihan, pengetahuan teknis, informasi pasar, serta terbatas dalam pengambilan keputusan terkait produksi dan pascapanen, termasuk penjualan.

Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional (FAO) menyatakan bahwa pertanian skala kecil yang menyumbang 70 persen produksi pertanian memiliki wajah perempuan. Namun, perempuan seringkali tidak memiliki kendali atas sumber daya dan aset berharga seperti tanah, tenaga kerja, dan teknologi baru.

Menilik fenomena tersebut, inklusivitas dalam industri kakao menjadi krusial, bukan hanya dari perspektif keadilan sosial, tetapi juga untuk keberlanjutan industri. Rangkaian diskusi kelompok terpumpun yang dilaksanakan Swisscontact pada 2017 menyebut keterlibatan aktif perempuan serta kesetaraan peran dan posisi dalam produksi kakao berkontribusi positif terhadap pengelolaan kakao berkelanjutan. Pernyataan tersebut masuk akal sebab perempuan cenderung menerapkan praktik wanatani atau kebun campur secara polikultur. Ini membantu memenuhi kebutuhan pangan dan pendapatan rumah tangga, serta berkontribusi positif bagi lingkungan dan produksi kakao yang berkelanjutan.

Baca Juga: Mendominasi Tapi Tersisih, Menilik Pentingnya Dukungan bagi Perempuan Pengelola UMKM

Inklusivitas dalam industri juga bermakna  semua pemangku kepentingan, termasuk yang paling rentan, dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat. Hal ini mencakup akses setara terhadap teknologi, pendidikan, dan pasar, serta kebijakan yang melindungi hak pekerja, terutama perempuan.

Aspek inklusivitas juga harus mencakup pendekatan ramah lingkungan dengan adopsi praktik pertanian berkelanjutan untuk melindungi ekosistem lokal. Peran perempuan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan seringkali kurang dihargai. Padahal mereka memiliki pengetahuan lokal yang penting dalam praktik pertanian yang ramah lingkungan.

Dalam konteks globalisasi dan perubahan iklim, industri kakao perlu beradaptasi untuk tetap berkelanjutan. Di sinilah peran perempuan semakin krusial sebagai tulang punggung produksi kakao yang mendorong inovasi dan keberlanjutan industri.

Menjadikan Petani Sebagai Subjek

Sabrina Mustopo, pendiri Krakakoa, adalah salah satu perempuan yang mencoba melakukan pendekatan sosial pada industri kakao Indonesia. Dalam podcast “Mission Drive,” ia menceritakan perjalanan dan visi di balik Krakakoa, sebuah perusahaan sosial dari petani ke produk jadi. Keinginan untuk membuat perubahan mendorongnya mendirikan Krakakoa.

“Saya memulai Krakakoa sekitar satu dekade lalu setelah bekerja sebagai konsultan manajemen di bidang pertanian berkelanjutan dan pengembangan ekonomi. Setelah bertahun-tahun membuat rekomendasi, saya mulai mempertanyakan apakah saya benar-benar membuat perbedaan,” katanya. 

Krakakoa bertujuan mengatasi tiga masalah utama di industri kakao Indonesia, yakni rendahnya pendapatan petani, rendahnya produktivitas, dan isu keberlanjutan lingkungan. Sebagai langkah solusi, Sabrina melangsungkan pemberdayaan berupa pelatihan, penyediaan alat, hingga membeli biji kakao dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.

Baca Juga: Meneropong Hilal RUU Masyarakat Adat dari Lensa Perempuan Adat

“Kami melatih petani, menyediakan peralatan, membeli biji kakao dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga pasar. Dan mengolahnya menjadi cokelat di pabrik kami,” jelas Sabrina.

Pendanaan juga menjadi tantangan. Sabrina menekankan pentingnya menemukan investor yang sejalan dengan misi sosial tetapi tetap dapat berdampak pada keuntungan finansial. 

“Dalam investasi berdampak, ada spektrum. Menemukan posisi investor dalam spektrum ini sangat penting,” ujarnya.

Optimalisasi Pemajuan Kebudayaan

Gerakan Pemajuan Kebudayaan yang didorong oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mengintegrasikan aspek kebudayaan dengan penguatan ekonomi. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, menekankan pentingnya ekonomi berbasis kebudayaan sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

“Kebudayaan tidak hanya sekadar identitas, tetapi juga modal sosial, ekonomi, dan politik yang dapat mendorong kemajuan bangsa. Oleh karena itu, pemajuan kebudayaan menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional,” ujar Hilmar dalam sambutan perayaan tujuh tahun Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, pada 21 Juni 2024.

Kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi berarti mengakui nilai-nilai tradisional, kearifan lokal, dan praktik-praktik budaya sebagai aset yang dapat dikembangkan menjadi produk ekonomi. Hal ini mencakup berbagai sektor, termasuk pertanian dan kuliner seperti kakao.

Hilmar menambahkan bahwa peran pemerintah sebagai fasilitator untuk sinergi kebudayaan dan ekonomi dalam gerakan pemajuan kebudayaan menjadi penting dalam mendukung ekosistem kebudayaan berkelanjutan. Gerakan pemajuan kebudayaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang merupakan  sarana bagi penguatan lintas sektor berbasis budaya.

Baca Juga: Deurbanisasi dan Kekuatan Perempuan Desa Datah Dian: Revolusi Tenang dari Pedesaan

“Undang-undang ini memiliki peran penting dalam mengaktifkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan memperkuat ekosistem kebudayaan. Setelah disahkan pada 2017, kebudayaan di Indonesia memiliki landasan hukum untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya Indonesia, meningkatkan kesejahteraan pelaku budaya, mengembangkan ekonomi kreatif, memperkuat diplomasi budaya, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian di bidang kebudayaan,” ujar Hilmar.

Selain itu, ekonomi berbasis kebudayaan juga memberikan peluang untuk menjaga keberlanjutan lingkungan melalui praktik-praktik yang menghormati alam dan sumber daya lokal. Dalam hal ini, perempuan seringkali berada di garis depan sebagai penjaga lingkungan dan pemelihara keberlanjutan. 

Kendati demikian, tantangan tetap di hadapan mata dalam mengintegrasikan kebudayaan dengan ekonomi, terutama dalam hal pendanaan dan dukungan infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah harus terus mendorong kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk memastikan keberhasilan inisiatif-inisiatif ini.

Penguatan melalui lembaga mandiri di bidang kebudayaan dapat didorong sebagai jembatan menuju kebijakan yang lebih progresif dan inklusif untuk memastikan pengakuan yang layak atas kontribusi perempuan. Dorongan ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan di seluruh rantai pasok kebudayaan, termasuk kakao, dari hulu hingga hilir.

(Artikel ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Manis di Bibir, Pahit di Ladang: Tantangan Petani Kakao Perempuan di Indonesia

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us