Islami

Kontribusi Abuya Muda Waly Al-Khalidi Aceh, dan Pengangkatan Soekarno sebagai Waliyyul Amri

Abuya Muda Waly al-Khalidi memiliki nama asal Muhammad Waly. Ia memperoleh laqab Syeikh Muda Waly al-Khalidi. Muhammad Waly lahir pada 1917 M di kampung Blangporoh, Labuhan Haji, Aceh Selatan. Abuya Muda Waly merupakan putra bungsu Teungku Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah Muhammad Waly berasal dari Batusangkar, tepatnya dari Koto Baru, Kecamatan Sungai

Abuya Muda Waly al-Khalidi memiliki nama asal Muhammad Waly. Ia memperoleh laqab Syeikh Muda Waly al-Khalidi. Muhammad Waly lahir pada 1917 M di kampung Blangporoh, Labuhan Haji, Aceh Selatan. Abuya Muda Waly merupakan putra bungsu Teungku Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito.

Ayah Muhammad Waly berasal dari Batusangkar, tepatnya dari Koto Baru, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Ia datang ke Aceh Selatan pada mulanya sebagai dai dan pengajar agama, termotivasi karena pamannya yang bernama Syeikh Abdul Karim atau yang lebih dikenal di Aceh Selatan dengan Tuanku Peulumat sudah lebih dahulu datang dan berkeluarga dengan wanita setempat (Labuhan Haji). 

Pemikiran tasawuf Abuya Muda Waly mengikuti pemikiran ulama-ulama sufi terdahulu seperti Syekh Abu Yazid Al-Busthami, Imam Al-Junaid al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali, Syekh Ibnu Arabi, Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi, dan Syekh Abdurrauf al-Singkili. Diantara pemikiran Abuya Muda Waly adalah:

Sesungguhnya Makrifat itu  terbagi tiga perkara, yaitu: Makrifat orang syariat, Makrifat orang tarekat dan Makrifat orang Hakikat.

  1. Makrifat orang syariat adalah mengenal sekalian hukum yang dhahir seperti mengenal haram dan halal, sah dan batal, makruh dan mubah, fardhu dan rukun beserta syaratnya.
  2. Makrifat orang tarekat adalah mengenal barang yang sia-sia seperti takabur, ujub, riya’, sum’ah, dengki dan lain sebagainya dari pada sifat keburukan nafsu yang dicela oleh syara’. Dan mengenal kasih sayang Allah Ta’ala akan hambaNya dan mengenal baik dan jahat dan dhahir dan bathin.
  3. Makrifat orang Hakikat adalah antara tanzih dan tasybih dan tiada terdinding pandangan yang dhahir akan yang bathin dan tiada terdinding pandangan yang bathin kepada yang dhahir.

Syariat adalah engkau sembah akan Allah dan engkau kerjakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.

Tarekat adalah engkau sahaja akan Allah dengan ilmu dan amal dan engkau amalkan  barang yg engkau ketahui dengna istiqomah dan ikhlas.

Hakikat adalah seperti engkau pandang (Syuhud) Allah Ta’ala dengan cahaya yg di tajalli kan di tengah hatimu.

Makrifat adalah meliputi sekalian badan dari ketiga ilmu itu.

Hakikat harus berlandaskan dengan Syariat. Hakikat tanpa dikuatkan dengan syariat adalah zindiq. Syariat adalah perbuatan lahiriah Nabi sedangkan hakikat ruhaniyah Nabi. 

Dengan sebab itu tiada boleh bercerai antara syariat dan hakikat karena hakikat itu ruh Islam dan syariat itu tubuh Islam. Sebagaimana kalam para Arifbillah

 والشريعة بلا حقيقة عاطلة 

والحقيقة بلا شريعة باطلة

Bermula syariat dengan tiada ilmu hakikat hampa ibarat gelas tanpa air dan hakikat tanpa syariat batal ibarat air tanpa gelas. (Kitab Tanwirul Al-Anwaar Idhari khallaf ma’afi Kasyf Asrar, Maktabah Taufiqiyah Sa’ada, hal 28-32).​​​​​​​

Syaikh Muhammad Waly selain sebagai tokoh tasawuf dan mursyid tarekat Naqsyabandiyah juga dikenal sebagai ahli fiqih dan hadits. Beliau sebagai ulama sufi juga telah memberikan kontibusi yang sangat berjasa bagi NKRI.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, mulai muncul bibit-bibit perpecahan. Tidak sedikit tokoh daerah yang memaklumkan perlawanan terhadap Jakarta. Di antaranya adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/ TII). Imbas gerakan ini juga terasa di berbagai daerah di Aceh. Di Tanah Rencong, banyak ulama yang tegas menolak pemberontakan. Bagi mereka, persatuan Indonesia mesti terus dipertahankan. Adapun soal-soal mengenai ketidakpuasan daerah, memang mesti diselesaikan dengan cara yang arif dan bijaksana oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, ketidakpuasan daerah tak boleh jadi alasan untuk menyulut separatisme.

Abuya Muda Waly bersama kelompok ulama lain seperti Teungku Haji Hasan Krueng Kalee (mursyid tarekat Hadabadiyah), dan Habib Muda Seunagan (murysid tarekat Syattariyah) menolak DI/TII dan berbagai upaya pemberontakan lainnya. Mereka menganggap bahwa perlawanan DI/TII sebagai perbuatan bughah karena melawan pemerintahan yang sah. 

Dalam rapat umum pada 17 November 1953, mereka juga mengatakan perkataan yang sama dengan Syaikh Muhammad Waly bahwa haram melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah, bahkan Habib Muda Seunagan bertindak sebagai pelopor dalam pagar desa di tempat tinggalnya. Fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh Muhammad Waly tentang keharaman melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dianggap sebagai bughah menggunakan referensi sebuah kitab dengan judul Bugḥyatul Mustarsyidin fii Talkhiishīi Fataawa ba’dhīl a-īmmati mīn al māh kutubīn syātta lill ulamaaīl mujtaḥidin, oleh Mufti Mesir As Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau lebih dikenal dengan Ba’alawi.

Abuya Muhammad Muda Waly al-Khalidi yang merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan oleh Syaikh Sulaiman al-Rasuli dan para ulama ahlussunnah wal jama’ah al-Syafi ’iyah di Sumatera Barat pada 15 Dzulqaidah 1346 H atau bertepatan dengan 5 Mei 1928. Kiprah Perti dalam membina tarbiyah umat islam Aceh sangat besar sebagai wadah organisasi yang berjuang untuk mempertahankan orisinalitas pemahaman agama islam di Aceh yang itikadnya  mengacu pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyyah) dan berfiqih dengan mazhab Syafiiyah. Hampir seluruh dayah dan zawiyah tradisional di Aceh bernaung di bawah organisasi ini.

Dalam perjalanannya terjadi perpecahan sangat mendalam akibat tarik ulur kepentingan antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam dalam Konstituante. Kelompok nasionalis yang digawangi PNI di bawah pimpinan Soekarno menginginkan bentuk negara Republik yang sekuler berasaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan golongan Islam yang dikomando oleh Muhammad Natsir dan partai Masyumi menginginkan bentuk negara Islam sebagai representasi dari keinginan jumhur muslimun Indonesia (mayoritas penduduk muslim Indonesia). Sehingga Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan alasan Dewan Konstituante belum berhasil membentuk UUD baru.

Menyikapi perdebatan kelompok Islam di Konstituante itu, Presiden Sukarno pada 14 Oktober 1957 mengundang sekitar 500 ulama dari seluruh Nusantara termasuk dua ulama Aceh terkemuka. Selanjutnya, menurut Forum Kajian Ulama Aceh di Masjid Raya Baiturrahman pada 17 Rabi’ul Akhir 1438 H atau 5 Mei 2007 M, dua ulama ini termasuk dari empat ulama Aceh yang mencapai maqam ma’rifatullah. Kedua ulama dimaksud adalah Tengku Hasan Krueng Kalee dan Abuya Muhammad Waly al- Khalidi ke Istana Cipanas, membicarakan status Negara Republik Indonesia dan Presidennya dalam tinjauan agama Islam. Di forum itu membahas mengenai sah atau tidaknya kedudukan Presiden Sukarno. Setiap ulama dari berbagai perwakilan menyampaikan sikap dan pandangan mereka. 

Tokoh Masyumi dan Muhammadiyah secara tegas menolak keabsahan Soekarno sebagai presiden yang sah dalam tinjauan Islam karena tidak diangkat oleh ahl al-Halli wa al-‘Aqdi (Suatu lembaga yang bertugas memilih, mengangkat, dan mengawasi khalifah atau pemimpin dalam sistem politik Islam). Hingga sampai pada giliran seorang ulama kharismatik tanah Jawa yang bergelar Sulthanul Ulama, ia mengatakan tidak sah dengan berbagai alasan dan hujjah. Ketika semua orang hampir sampai pada kesimpulan itu, pimpinan sidang menanyakan kepada ulama dari Aceh tentang pandangan mereka. Kemudian Abuya Muhammad Waly angkat bicara dan menyatakan Presiden Soekarno sah menjadi Presiden secara “darurat.” Ia memiliki alasan karena Sukarno mempunyai “syaukah” (kekuasaan). Salah satu kekuasannya adalah sebagai panglima tertinggi yang membawahi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Abuya Muhammad Waly dan Tengku Hasan Krueng Kalee menilai pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soekarno sah untuk disebut sebagai ulil amri menurut Islam walaupun secara “dharuri bi al-Syaukah” (Pemerintahan masa transisi hingga terbentuknya pemerintahan Islam yang sah dan benar).

Abuya Muhammad Waly membaca dalil dan hujjah dari Kitab Matan Tuhfah Muhtaz karya Imam Ibnu Hajjar al-Haitami yang mengakui keabsahan “uli al-Amri al-Dharuri bi al-Syaukah.” Alasan ini disanggah kembali oleh Sulthanul Ulama, sehingga Abuya Muhammad Waly pada awalnya dalam posisi duduk langsung berdiri dan mengatakan kalimat yang pernah diucapkan Khalifah Umar bin Khattab: “Tafaqqahu qabla an Tasudu!” (pelajari fiqih sebelum kamu diangkat menjadi pemimpin). Kemudian, Abuya Muhammad Waly mengatakan kepada Tengku Hasan Krueng Kalee: “Kon nyo menan Abu?” (Bukankah demikian Abu?) Abu Hasan Krueng Kalee menjawab: “Nyo, Betoi” (Iya, benar).

Pertemuan itu akhirnya menyimpulkan kesepakatan ulama sesuai dengan apa yang diutarakan oleh kedua ulama Aceh. Pertama, kemerdekaan Indonesia adalah sah. Kedua, Presiden Soekarno adalah presiden yang sah dalam posisi uli al-Amri al-Dharuri bi al-Syaukah. Pengakuan posisi Soekarno sebagai Waliyu al-Amri al-Dharuri bi al Syaukah pada hakikatnya juga sebagai jawaban atas persoalan wali nikah bagi wanita yang tidak memiliki wali. Dalam pandangan Islam, sultan atau pimpinan negara adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. Sehingga pemerintahan Soekarno dalam hal ini para hakim Mahkamah Syar’iyah sah menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.  Sebagai seorang ulama kharismatik Aceh, posisi  Abuya Muhammad Waly dalam Konstituante sangat dihormati oleh Soekarno. Dalam berbagai kesempatan pertemuan antara presiden dengan Dewan Konstituante, Abuya Muhammad Waly dan Tengku Hasan Krueng Kalee adalah dua ulama anggota konstituante yang dijemput langsung oleh presiden ketika turun mobil.

Poin penting yang harus dicatat, bahwa peran ulama sufi Aceh, yakni Abuya Muhammad Waly dan Tengku Hasan Krueng Kalee dalam mengusir penjajah dan mempelopori serta mempertahankan kemerdekaan adalah suatu hal yang tidak dapat dibantah. Peran keduanya sebagai representasi ulama Aceh menjadi catatan sejarah Aceh maupun masyarakat Indonesia akan selalu dikenang dalam sejarah. Peran keduanya sayangnya tidak banyak dicatat dalam berbagai buku sejarah yang diajarkan kepada anak bangsa ini.

Budi Handoyo,Dosen dan Anggota Pengurus Rumah Moderasi Beragama STAIN-Teungku Dirundeng-Meulaboh.

Pengepul kebahagiaan dari temuan abad modern, berupa listrik, internet dan komputer. Hidup harmonis bersama barisan code dan segelas kopi kenangan.

Sign up for a newsletter today!

Want the best of KWFeeds Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?


    Warning: Undefined array key "nonce" in /home/kabarwar/public_html/wp-content/plugins/newsy-reaction/class.newsy-reaction.php on line 342
  • 226
    Awesome
    Awesome

  • Warning: Undefined array key "nonce" in /home/kabarwar/public_html/wp-content/plugins/newsy-reaction/class.newsy-reaction.php on line 342
  • 15
    EW
    Ew!

  • Warning: Undefined array key "nonce" in /home/kabarwar/public_html/wp-content/plugins/newsy-reaction/class.newsy-reaction.php on line 342
  • 12
    FUNNY
    Funny

  • Warning: Undefined array key "nonce" in /home/kabarwar/public_html/wp-content/plugins/newsy-reaction/class.newsy-reaction.php on line 342
  • 9
    LOL
    Lol

  • Warning: Undefined array key "nonce" in /home/kabarwar/public_html/wp-content/plugins/newsy-reaction/class.newsy-reaction.php on line 342
  • 98
    Loved
    Loved

  • Warning: Undefined array key "nonce" in /home/kabarwar/public_html/wp-content/plugins/newsy-reaction/class.newsy-reaction.php on line 342
  • 54
    OMG
    Omg!
Leave Comment

Related Posts

Celebrity Philantrophy Amazing Stories About Stories