Imane Khelif Dipermalukan di Olimpiade Paris 2024, Ini Stigma Terhadap Ragam Identitas Gender

imane-khelif-dipermalukan-di-olimpiade-paris-2024,-ini-stigma-terhadap-ragam-identitas-gender

Atlet tinju perempuan asal Italia, Angela Carini (25 tahun) menarik diri  saat bertanding melawan petinju Aljazair, Imane Khelif pada Olimpiade di Paris 2024. Carini mengaku mengundurkan diri karena pukulan yang cukup keras dari Khelif.

Carini menyatakan di media, “Setelah pukulan kedua, saya merasakan sakit yang parah. Saya bilang cukup. Saya tidak bisa menyelesaikan pertarungan setelah pukulan di hidung. Jadi lebih baik mengakhirinya.”

Tentu sebagai seorang petinju perempuan profesional, alasan Carini mundur—semoga—bukan karena takut bertanding. Kalau menelusuri dari pemberitaan media, ini merupakan bentuk protes Carini terhadap identitas tubuh Khelif yang dianggap bukan perempuan.

Khelif sendiri, dilansir The Guardian, adalah satu dari dua petinju (satu lagi petinju Taiwan) yang diizinkan bertarung di Olimpiade Paris 2024 karena persoalan identitas gendernya. Di sisi lain, Khelif pernah didiskualifikasi oleh Asosiasi Tinju Internasional (IBA) dari kejuaraan dunia perempuan tahun lalu. Sebab ia gagal dalam tes testosteron dan kelayakan gender.

Namun putusan IBA yang ditulis oleh media BBC tersebut berbeda dengan putusan komite Olimpiade Internasional (IOC). Justru, IOC membolehkan Imane Khelif sebagai salah satu atlet tinju perempuan di Olimpiade Paris 2024.

IOC meloloskan Imane Khelif karena sebelumnya ia telah bertanding dalam kompetisi tinju internasional selama bertahun-tahun pada kategori perempuan. Termasuk Olimpiade Tokyo 2020 dan kejuaraan yang diadakan oleh dunia Asosiasi Tinju Internasional (IBA) sendiri.

Perbedaan pandangan dan putusan IBA dan IOC sebagai organisasi besar barangkali tidak lepas dari unsur politis. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya menyikapi kasus perbedaan identitas gender seperti yang dialami Imane Khelif?

Baca Juga: Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin

Kasus identitas gender seperti ini bukan kasus yang pertama di dunia olahraga. Bahkan di Indonesia, hal ini pernah terjadi pada atlet voli putri Aprilia Manganang. Ia sering mendapatkan protes pada ajang pertandingan voli putri nasional maupun internasional karena identitas gendernya, yang dianggap sebagai laki-laki.

Sampai akhirnya Manganang melakukan penyesuaian identitas kelamin dari perempuan menjadi laki-laki. Kemudian namanya berganti menjadi Aprilio Perkasa Manganang. Ia pun sah menjadi seorang laki-laki secara hukum formal.

Sepertinya kasus-kasus seperti ini dipastikan akan terus berulang dan terus dipersoalkan oleh pihak manapun. Pun sangat mungkin bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan tanding atau kepentingan lainnya. Maka asosiasi cabang olahraga apa pun harus menjawab masalah ini agar tidak menjadi alat untuk mempermalukan identitas seseorang ke ruang publi. Seperti yang dialami oleh Imane Khelif saat ini.

Ketika identitas personal Imane Khelif diprotes saat bertanding oleh pihak lawan, konsekuensinya adalah publikasi dan pembahasan dalam ruang publik. Identitas Imane Khelif menjadi perbincangan masyarakat dunia. Situasi ini pasti membuat tidak nyaman bagi orang tersebut, dalam hal ini Imane Khelif.  

Dosa Besar IOC Pada Khelif

Pada konteks ini, tidak terbayangkan perasaan Imane Khelif dan atlet lainnya yang mengalami kasus serupa. Perasaan bahwa dirinya berbeda saja sudah menjadi persoalan. Apa lagi saat pihak lain dan publik membahas hingga menggugat identitas pribadinya di ruang publik.

Maka jadi satu kesalahan besar organisasi-organisasi cabang olahraga apa pun di internasional, baik IBA maupun IOC, karena tidak mampu melindungi identitas personal setiap atlet yang akan bertanding dalam ajang olimpiade.

Mestinya sistem atau prosedur yang berlaku di olimpiade untuk ‘menguji’ atau menentukan pengelompokan atlet berdasarkan jenis kelamin, berat badan, dan kriteria lainnya sudah ‘selesai’ sebelum acara berlangsung.

Ada proses seleksi atau mekanisme di awal saat mengajukan nama-nama atlet tiap negara yang akan bertanding. Ini untuk memastikan semua atlet masuk kategori sesuai dengan identitas dirinya. Misalnya dengan melakukan tes hormon atau hal-hal medis lainnya sesuai dengan ketentuan yang disepakati dalam sistem di olimpiade.

Ketika semua proses telah dilalui oleh semua peserta dari semua negara, setiap komplain dari pihak lain harus dituntaskan. Mereka dapat mengajukan keberatan dan IOC wajib menyelesaikan semua sebelum pesta olimpiade diselenggarakan.

Baca Juga: Apa itu ‘cisgender’ dan Mengapa Istilah Ini Menjadi Pro dan Kontra

Apabila semua sudah jelas, maka ketika perhelatan olahraga berlangsung, seharusnya ‘haram’ hukumnya bagi siapa pun untuk mempertanyakan atau memprotes identitas atlet yang bertanding. Termasuk perihal identitas gender, negara asal, atau lainnya. Sebab protes identitas gender saat bertanding hanya akan membuka ranah privat seseorang dan itu merupakan pelanggaran berat atas hak pribadi.

Peraturan IOC juga harus ketat. Jika semua sudah disepakati dan tetap ada yang memprotes saat bertanding, apa lagi lewat publikasi ke publik. Maka dapat diberikan sanksi tegas bagi pelaku protesnya. Pasalnya, kesempatan protes atau keberatan telah diberikan sebelumnya. Apa lagi dalam kasus Imane Khelif, banyak disinformasi (hoax) yang menyebut bahwa ia sebetulnya adalah ‘laki-laki’. Penyebaran hoax juga harus ditindaklanjuti secara serius.

Cara memprotes identitas seseorang saat bertanding, menurutku sangat kejam. Ini akan melukai atlet yang sedang bertanding. Bukan hanya mempermalukan, hal ini juga akan mengganggu karier seorang atlet. Padahal sangat mungkin pihak yang protes memang tidak sanggup menghadapi lawannya. Kemudian menggunakan isu identitas untuk mempermalukan atau menghancurkan karier seseorang.

Toh, bagaimana pun, semua itu sama sekali di luar keinginan dan kontrol individu. Baik sebagai atlet maupun bagian dari ragam manusia. Bisa saja seseorang diberikan ‘keistimewaan’ secara biologis karena genetisnya. Sehingga ia punya kemampuan lebih perihal fisik ketika dilatih.

Di situlah seharusnya organisasi IOC peduli dan sensitif pada isu identitas gender dan ekspresi manusia, pun identitas lainnya seperti ras dan kebangsaan.

Hal ini sangat personal dan mestinya telah diselesaikan terlebih dahulu tanpa perlu diumbar ke ruang publik saat pesta olahraga berlangsung. Maka IOC berdosa besar pada Imane Khelif.

Spektrum Identitas Gender yang Luas

Sekarang, apakah pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan alat kelamin ‘penis dan vagina’ sudah tidak relevan penempatannya pada konteks dunia olahraga atau bidang lainnya? Bagaimana cara identifikasi jenis kelamin seseorang ketika identitas penis dan vagina tidak sepenuhnya relevan pada semua orang?

Kira-kira faktor apa saja seseorang bisa menjadi sangat kuat dan punya keterampilan bertanding dalam cabang olahraga? Apakah hanya urusan kepemilikan penis dan vagina saja atau ada faktor turunannya? Bagaimana dengan atlet voli, basket, dan renang ketika tinggi badan sangat memberi pengaruh signifikan terhadap kemampuan atletnya? Apakah ada ketentuan khusus tentang kategori tinggi badan, misalnya?

Imane Khelif dianggap punya hormon tertentu sehingga mempunyai kekuatan lebih. Tetapi toh Khelif juga pernah kalah bertanding dengan atlet petinju perempuan lainnya. Misalnya pada Olimpiade Tokyo 2020. Di babak perempat final, Khelif kalah dari petinju Irlandia, Kellie Harrington. Kemudian pada kejuaraan Dunia Tinju Wanita 2022 ia dikalahkan oleh atlet tinju Amy Broadhurst.

Artinya, jika kekuatan Khelif benar karena kelebihan hormon yang dimilikinya, kenapa ia juga pernah kalah dari atlet lainnya? Begitu pula dengan atlet-atlet cabang lain karena secara fisik memiliki kelebihan dibanding atlet pada umumnya. Hal itu lalu dikatakan membuat mereka sulit dikalahkan saat bertanding. Apakah artinya atlet tersebut melakukan kecurangan sehingga harus dilarang untuk bertanding?

Baca Juga: Dipanggil ‘Pak’ Arti Nama dan Identitas Dalam Hidup Transgender 

Begitu pula atlet Aprilia Manganang saat menjadi bagian dari tim putri voli Indonesia. Ia juga pernah kalah dari tim voli lainnya. Pandanganku, ini membantah argumentasi bahwa seseorang yang dianggap mempunyai kelainan kromosom atau persoalan identitas kelaminnya, dipastikan lebih kuat sehingga selalu akan memenangkan perbandingan.

Hal ini sejalan dengan pemikiran di kajian gender. Yakni bahwa kemampuan—termasuk di dalamnya kekuatan fisik, apalagi kemampuan skill—tidak selalu sejalan dengan urusan biologis. Faktor lainnya dari lingkungan, seperti kebiasaan atau konstruksi yang diajarkan dan dilakukan terus-menerus, juga berpengaruh. Misalnya, seseorang yang dikatakan laki-laki karena berpenis, tetapi tidak melakukan latihan otot yang benar, tidak didukung pelatih, gizi yang baik. Maka ia tidak serta merta mempunyai kemampuan skill bertanding yang baik juga.

Kekuatan fisik atau skill seseorang bukan semata-mata karena faktor biologis. Tetapi mengapa kategorisasi berdasarkan penis dan vagina masih bisa diterima di bidang olahraga?

Mungkin perlu ada acara lain yang mengkategorikan atlet bukan hanya secara biner berdasarkan penis dan vagina saja. Faktor-faktor lainnya bisa dipertimbangkan. Misalnya pada persoalan hormon atau indikator kombinasi lainnya, antara jenis kelamin dan hormon. Bisa juga tinggi badan dan gizi menjadi pertimbangan kategorisasi. Sehingga atlet dapat dikelompokkan sesuai dengan indikator yang lebih tepat.

Baca Juga: Bunda Corla, Transgender Atau Bukan? Tak Penting Urusi Identitas Orang! 

Begitu juga untuk kategori jenis kelamin dalam konteks sosial dan politik ketika bernegara. Mengelompokkan manusia hanya berdasarkan penis dan vagina saja perlu dilihat kembali.

Sebab di belahan bumi mana pun, ada manusia memaknai identitas gendernya tidak selalu sejalan dengan identitas kelaminnya. Berpenis tetapi memaknai dirinya sebagai perempuan, begitu juga sebaliknya. Identitas gender mesti dimaknai secara luas.

Pengalaman personal itu harus dimaknai dan dihargai sebagai hak setiap individu. Ini merupakan keragaman manusia yang hidup di bumi. Oleh karena itu, esensinya adalah penghargaan dan penghormatan atas keunikan dari setiap manusia. Sehingga ke depan tidak ada lagi Khelif-Khelif lain yang dipermalukan di ruang publik karena identitasnya dianggap berbeda.  

(sumber foto: Instagram @imane_khelif_10)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Imane Khelif Dipermalukan di Olimpiade Paris 2024, Ini Stigma Terhadap Ragam Identitas Gender

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us