Dengarkan artikel berikut
Keputusan pemerintah membolehkan kembali ekspor sedimen (pasir) laut menuai sejumlah kritik. Kira-kira apa alasan Presiden Jokowi setujui keputusan tersebut?
20 tahun yang lalu pemerintah Indonesia menerbitkan sebuah kebijakan yang cukup mendapat apresiasi dari semua pihak. Melalui Keputusan Bersama antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Negara Lingkungan pada Hidup tahun 2003, Indonesia resmi menghentikan (sementara) ekspor pasir laut.
Keputusan besar ini jadi salah satu peninggalan Presiden Megawati Soekarnoputri yang paling dinilai positif, karena dinilai dapat mencegah kerusakan ekosistem pesisir, terutama di Kepulauan Riau (Kepri), di mana penambangan pasir laut yang intensif menyebabkan erosi pulau-pulau kecil dan merusak kehidupan laut dan para nelayan.
Namun, peninggalan tersebut kini berubah total. Yess, di akhir masa jabatannya, pemerintahan Jokowi resmi membuka kembali ekspor sedimen laut melalui Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Kebijakan ini tentu spontan menuai kritik. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil dari Walhi yang diwawancara Tempo pada 11 September 2024 misalnya, menyebut pemerintah akan rugi lima kali lipat jika jadi membuka kembali tambang pasir laut. Sementara, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara yang juga diwawancara Tempo pada 13 September 2024 menilai kebijakan ini akan buat Indonesia terjebak penjualan komoditas mentah yang nilainya dipertanyakan.
Namun, kendati kontroversi-kontroversinya yang kini ramai dibincangkan warganet, penting untuk kita pertanyakan ulang, kira-kira mengapa Jokowi kembali membuka ekspor sedimen laut? Apakah ini murni hanya untuk keuntungan pragmatis sementara atau jangan-jangan ada intrik politik dan bisnis yang belum disadari banyak orang?
Permainan Manuver Diplomasi dengan Singapura?
Kalau kita lihat kepentingan pasar impor ekspor sedimen atau pasir laut internasional, kuat dugaannya hal ini berkaitan dengan permainan politik dan bisnis dengan Singapura. Selama puluhan negara tetangga Indonesia ini memang jadi salah satu peminta terbesar impor pasir laut global, utamanya karena mereka memiliki proyek besar reklamasi lahan.
Selama ini, dua negara utama yang memasok pasir laut untuk proyek reklamasi Singapura adalah Indonesia dan Malaysia. Menariknya, kedua negara tersebut tampak bergantian menjadi pemasok utama bagi Singapura. Pergantian ini dipengaruhi oleh kondisi hubungan diplomatik antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada waktu tertentu.
Sering kali, penghentian ekspor pasir laut dari kedua negara ini menjadi cara untuk meningkatkan posisi tawar diplomasi mereka dalam isu-isu yang melibatkan Singapura.
Contohnya, pada tahun 1997, Malaysia menghentikan ekspor pasir akibat perselisihan mengenai harga penjualan air bersih ke Singapura, sehingga Singapura beralih ke Indonesia sebagai pemasok. Namun, pada 2003, Indonesia juga menghentikan ekspor karena perundingan batas wilayah yang buntu.
Pada 2007, Indonesia mencoba kembali bernegosiasi dengan Singapura dengan memasukkan perjanjian ekstradisi, tetapi Singapura menolak karena masih mendapatkan pasir dari Malaysia. Setelah Indonesia menghentikan ekspor pada 2003, Malaysia kembali menjadi pemasok pasir setelah persetujuan mengenai harga air bersih tercapai.
Pada 2019, Malaysia menghentikan pasokan pasir dengan alasan Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang tidak setuju dengan proyek reklamasi Singapura yang menguntungkan Singapura namun merugikan Malaysia. Sentimen negatif Mahathir ini kemungkinan mendorong Singapura untuk beralih lagi ke Indonesia.
Melihat pola interaksi antara ketiga negara ini, terlihat bahwa ekspor-impor pasir laut tidak didasari pada pertimbangan kelestarian lingkungan, melainkan kepentingan pragmatis masing-masing negara.
Terlebih lagi, Indonesia belakangan ini menyepakati sejumlah perjanjian besar dengan Singapura, seperti kesepakatan Flight Information Region (FIR) dan kesepakatan soal ekstradisi.
Dengan demkian, meksi terdapat ancaman kerusakan lingkungan, Malaysia dan Indonesia memandang ekspor pasir laut ke Singapura hanya sebagai alat diplomasi. Kedua negara menyadari bahwa Singapura sangat bergantung pada salah satu dari mereka untuk pasokan pasir. Meskipun ada negara lain yang bisa memasok, tingginya biaya karena jarak menjadi kendala.
Maka dari itu, jika kebijakan ekspor sedimen laut ini bisa dikelola dengan cermat dan optimal, ia bisa menjadi “leverage” politik yang kuat bagi Indonesia terhadap Singapura. Dan sebagai negara dengan nilai investasi asing yang begitu tinggi di Indonesia, tentu leverage diplomasi ini akan “dipermainkan” sedemikian rupa.
Namun, masih terdapat satu pertanyaan penting yang tersisa. Di Indonesia sendiri, kira-kira siapa yang paling diuntungkan dengan adanya kebijakan ekspor sedimen laut?
“Tukar Guling” Sedimen dengan Proyek?
Di Indonesia, ada yang bilang bahwa ketika kita ingin berbicara soal kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan, maka hal itu juga akan berkaitan dengan kepentingan para oligark. Pandangan tersebut salah satunya diungkapkan Shahar Hameiri dan Lee Jones melalui pendekatan “Murdoch School (MS)” yang disebutkan dalam tulisan Murdoch International: The ‘Murdoch School’ in International Relations.
Mengutip pemahaman Richard Robinson dari Universitas Murdoch atas tulisan Hameiri dan Jones, pendekatan MS meyakini bahwa mayoritas permasalahan sosial, politik, dan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, muncul dari persaingan kelompok-kelompok elite yang ingin menguasai dan mempertahankan sumber pendapatan nasional.
Robinson mencontohkannya dengan gerakan ekonom-ekonom mantan Presiden Suharto yang disebut ‘Mafia Berkeley’, yang secara besar-besaran ditantang oleh koalisi antara politisi-birokrat, pengusaha dan kroni kapitalis etnis-Tionghoa yang kepentingannya sangat membentuk kontur kebijakan ekonomi.
Sejak fenomena itu muncul, Robinson berpendapat kapitalis oligarki di Indonesia semakin mampu melampaui kekuatan politisi yang mensponsori birokrasi mereka dan melakukan aksi-aksinya untuk mencapai tujuan mereka sendiri.
Kembali ke konteks ekspor sedimen laut dan oligark Indonesia, sempat muncul asumsi bahwa hal tersebut ada kemungkinan menjadi fenomena “kompensasi” dengan para oligark yang selama ini menjadi pendonor besar proyek-proyek besar negara, salah satunya termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN). Karena pertambangan pasir laut itu sendiri merupakan bagian dari industri pertambangan yang juga bagian dari bisnis para oligark besar, asumsi tersebut menarik untuk kita pertimbangkan lebih dalam.
Namun, pembahasan di atas tentu hanyalah sebuah interpretasi yang didasarkan pada variabel-variabel terkini yang kemungkinan besar memiliki hubungan antar satu sama lain. Akan tetapi, akan sangat menarik untuk melihat bagaimana kelanjutan dari hubungan diplomasi antara Indonesia dengan Singapura setelah kebijakan ekspor sedimen (pasir) laut ini sudah benar-benar dijalankan. (D74)